Aku hampir melupakan
Kerinci untuk tahun ini, karena perjalanan ke sana lumayan mahal dan untuk
mencari tiket pesawat promo dalam waktu dekat tidaklah mudah. Aku chating
dengan Cinta maksudnya mau Curhat, malah dia udah regist perjalanan ke sana,
aku jadi mau ikut juga even itu. Pertama karena memang tahun ini aku udah
planing ke Kerinci, kedua khawatir sama Cinta, karena ini adalah pendakian ke
volcano tertinggi di Indonesia, dan di gunung ini si belang masih banyak.
Aku berkeras ikut dan
minta tolong dicarikan tiket, bukannya gak bisa cari tiket online, tapi setiap
aku mau pergi bareng Cinta memang aku minta dicarikan supaya duduknya bareng.
Baiknya Cinta, bukan Cuma mencarikan tiket malah sudah sekalian ditransferkan
uangnya. Apapun yang dipilihkan aku bilang ok aja, dapet pergi pakai Garuda dan
pulang pakai Sriwijaya. Well, buat aku lumayan mewah pergi pake garuda sekarang
ini, maklum Cuma guru honor.
Sip semua tiket sudah
siap sejak Agustus, sepekan setelah pulang dari peresmian AWASPALA di Curug
Panjang. Aku gak pernah pamer mau pergi ke Kerinci ke anggota AWASPALA karena
memang bukan untuk dipamerkan, juga tidak mengajak satu orang pun dari mereka
karena menurut aku ongkosnya memang jauh lebih tinggi dari pada ke
gunung-gunung yang biasa kami daki di Jawa. Tiket Garuda 850K, tiket Sriwijaya
550K, udah include airport tax, dan biaya regist 850K. Jadi ongkos pendakian
ini lumayan 2250K, well sama dengan ke Rinjani tahun lalu. Tapi alhamdulillah,
ada rejeki menjelang keberangkatan. Dari sekolah ada uang upah kegiatan ini itu
jadi bisa tenang.
Pada perjalanan kali
ini kami bersama BPI yang dikoordinasi Mega Barutu. Kelompok kami pada akhirnya
terdiri dari Mega, Elvy, Lina, aku, Dayat, Andi, Sukma, dan Om Benny. Jadi semua
menjadi 8 orang, yang seharusnya ada 10 orang.
Persiapan
Seperti pendakian ke
Slamet, aku nitip motor di kantornya Lina di daerah Sudirman. Berangkat bersama
Jum’at 11 Oktober 2013, jam 13 pas naik taksi menuju Gambir. Dari Gambir kami
naik bis Damri menuju bandara, keren juga di tiket dituliskan 2F, gate untuk
Garuda mmm. Penerbangan kami masih jam 16:05, tapi kami mengantisipasi
kemacetan menuju bandara. Benar saja perjalanan menuju bandara memang sangat
macet, dan kami tiba sekitar jam setengah 3. Kami langsung cek in dan menunggu
boarding yang 20 menit sebelum keberangkatan kami. Sempat juga sholat ashar di
mushola bandara SOETTA ini, wangi dan nyaman musholanya 2 thumbs.
Cinta, aku suka
gayanya ke bandara pake sendal jepit, dan ini sudah berkali-kali dia lakukan,
benar-benar sendal jepit swalow J. Tidak mengurangi rasa suka saya, walaupun dia cuma pake sendal jepit,
low profile, that’s why she’s my type.
Menunggu di ruang
tunggu SOETTA selama hampir dua jam tidak membuat aku bosan, karena nunggunya
bareng Cinta. Kami bisa ngobrol, bercanda, sehingga bisa membunuh kebosanan
menunggu waktu boarding.
Tiba waktunya boarding
dan memulai penerbangan. Cuaca Jakarta waktu itu cerah dan tidak menimbulkan
kekhawatiran untuk terbang. Aku punya masalah sendiri kalo terbang, saat
landing telinga ku bakal sakit karena perubahan tekanan udara. Fasilitas di
dalam pesawat ini adalah lcd touch screen di setiap kursi, dan hidangan ketupat
opor ayam. Sayang lcd nya agak-agak lemot.
Dalam penerbangan ini
beberapa kali kami untuk tetap mengenakan sabuk pengaman, dan memang aku
merasakan beberapa kali turbulensi ringan, cuaca di luar pun mendung. Tiba pada
waktunya landing, pemandangan di luar pesawat gelap gulita, kami lihat di lcd
sudah menunjukkan angka 0km menuju destinasi. Aku merasakan pesawat yang sudah
turun, naik lagi dan berjalan berputar-putar,”mas, pesawatnya kok naik lagi?”
kata Cinta. Dalam hatiku, pasti banyak antrian untuk landing, atau memang cuaca
di bawah sangat tidak mendukung untuk landing. Aku agak nervos saat itu, aku
pegang tangan Cinta, “Cin kamu takut?” tapi dianya diam aja. Aku berdoa dalam
hati ‘La Hawla Wala Quwwata illa Billah’. Tapi setelah beberapa kali berputar
pesawat landing juga, turunnya agak bergetar, dan kami mendarat mulus, walaupun
ada getaran sedikit, aku langsung berucap spontan, “wow pilotnya keren nih Cin,
landingnya termasuk mulus di cuaca begini.” Hujan deras menyambut kami yang
baru tiba di bandara Minangkabau, pantas saja kami berputar-putar agak lama di
atas.
Di bandara kami sudah
ditunggu oleh peserta lain, om Benny, kakek berumur 64 tahun yang sudah tiba
lebih dulu. Beliau sudah datang sejak jam 5 di bandara katanya. Kami mengalami
beberapa kesalahpahaman waktu itu, tapi sebenarnya memang om Benny ini unik,
kami merasa tidak salah saat menentukan tempat bertemu, tapi beliau lebih tidak
terima. Ya sudah kami diamkan saja beliau yang tidak mau bergabung menuju
tempat kami menunggu.
Dari sms dan chat kami
tahu Andi yang terbang bersama Lion delay karena cuaca buruk, Sukma mendarat
darurat di Pekanbaru karena cuaca juga. Mega dan Elvy sudah menuju Padang dari
Jambi, karena mereka memilih mendarat di Jambi. Dayat adalah pemuda dari Padang
yang banyak mambantu kami di sana. Dia baru akan datang jam 8 malam, sementara
waktu itu jam 7. Kami berdua memutuskan menunggu di Lapau Coffee, memesan hot
cocholate(padahal Cuma Milo) yang ternyata seharga @25K, well, mungkin harga duduk
di bangkunya yang mahal.
Sampai jam 11 malam
baru semua teman berkumpul, kami memperbicangkan segala komplain om Benny, yang
jadi pusat pembicaraan dan membuat kesan kami ke Beliau menjadi negatif. Pada saat
itu terpikir untuk tidak perlu mengajak om Benny, dan memang kami tidak melihat
om Benny dari tempatnya menunggu. Lucu juga, kami akan bepergian dengan beliau
hingga 4 malam, tapi kami tidak saling menyapa pada waktu itu.
Akhirnya kami: aku,
Lina, Sukma, Andi, Dayat, adiknya dan teman adiknya yang akan menyupiri kami
dari bandara ke Kersik Tuo berangkat. Betapa sempitnya berkendara menggunakan
avansa untuk 7 orang di tmabah bawaan kami tas yang besar-besar. Di dalam
kepala sudah terbayang komplain om Benny L.
Perjalanan kami menuju
Kersik Tuo tertunda sebentar untuk makan, karena kami semua memang kelaparan. Di
sebuah warung ‘ayam lepas’ kami menyantap hidangan dengan cepat, rasanya aku
pikir gak jauh berbeda dengan yang ada di Jawa, dan harganya juga hampir sama.
Tim : Dayat, Sukma, Mega, aku, Cinta, Elvy, Om Benny, dan Andi yang ambil gambar |
Setelah kenyang, kami
melanjutkan perjalanan yang kami perkirakan selama 6 jam, dan memang 6 jam kami
sampai di Kersik Tuo. Sepanjang perjalanan hujan masih terus turun dan deg
degan juga karena mobil ini seperti jet coaster yang mengiris daerah lereng
pegunungan dengan jalan yang berbelok-belok seperti leter W. kami hanya sekali
rehat untuk buang air, dan itu membuat kami sampai di Homestay Paiman tepat
waktu.
Homestay Paiman
Jam 6 kurang kami tiba
di Homestay Paiman, tidak banyak tamu di sana, kecuali mas Rudi, seorang
pendaki solo yang sebenarnya sempat nongkrong bareng di Café bandara tadi
malam. Kami disambut ramah oleh ibu dan tidak lama the panas terhidang. Kami segera
melakukan MCK dan bergegas sholat subuh. Kami masih menunggu Mega yang
menggunakan angkutan dari Jambi, sekedar informasi, perjalanan dari Jambi ke
Kersik Tuo adalah sekitar 12 jam. Tidak sampai satu jam Mega dan Elvy datang,
kami saling bersalaman, dan yang paling berkesan adalah salaman Mega dan om
Benny yang sempat bertengkar dengan sms.
Selanjutnya kami
melakukan packing ulang, karena ternyata kami menggunakan 2 porter yang kami
jadikan guide sekaligus. Baru kali ini aku pakai porter, dan alhamdulillah aku Cuma
bawa satu botol air dan tidak bawa tenda.
Ritual "I'll be there" |
Kami memulai
perjalanan dengan berdoa agar kami tidak menemui banyak hambatan dan selamat
sampai di tujuan.
rombongan pertama, tas kami yang besar-besar |
rombongan kedua |
Gerbang pendakian |
Narsis dulu |
Perjalanan selanjutnya adalah ke pintu rimba, batas hutan untuk memulai ke jalur pendakian. |
Pintu Rimba, batas hutan |
Ke Pos 1
Perjalanan ke pos satu
tidak memakan waktu lama, sekitar setengah jam kami menikmati perjalanan di
bawah rindangnya hutan hujan tropis warisan kekayaan alam Indonesia ini. Sepanjang
jalan kami adalah jalur yang becek, kadang berlumpur agak dalam akibat hujan
yang mengguyur daerah TNKS ini. Di pos satu kami istirahat sebentar untuk
melemaskan otot-otot kami sejenak. Perjalanan ke sini masih landai belum ada
tanjakan yang curam.
Istirahat dan narsis dulu |
Ke Pos 2
Perjalanan dilanjutkan
ke pos 2, jalur masih sama-sama banyak lumpur dan akar. Beberapa trek mengikuti
jalur air yang kadang agak dalam dan ini lumayan untuk pemanasan ke atas. Pos 2
kami lampaui, istirahat sejenak dan melanjutkan ke pos tiga. Pohon-pohon besar
dan diselimuti lumut menjadi pemandangan yang sering kami lewati.
Di pos dua ini ada sumber air yang lumayan banyak dan bersih. Air sungai yang belum ada sampah di sana, turun sekitar 30 meter dari pos 2.
Di pos dua ini ada sumber air yang lumayan banyak dan bersih. Air sungai yang belum ada sampah di sana, turun sekitar 30 meter dari pos 2.
Ke Pos 3
Berjalan sebentar
meninggalkan pos 2 hujan turun kecil-kecil, tapi makin lama makin besar dan
terpaksa aku pakai mantel hujan Indomaret. Sayang celana yang masih bersih, aku
lepas dan selanjutnya Cuma mengenakan celana sepeda. Ternyata lebih nyaman dan
bebas bergerak, walaupun dingin, untungnya kami terus bergerak sehingga
dinginnya tidak terasa.
hiking dengan celana pendek tanpa lotion, akhirnya aku gatal-gatal di kaki seminggu lamanya |
Di sini terdengar uwa
yang saling bersahut-sahutan mengingatkan aku lagi, bahwa di sini adalah rimba
yang masih banyak binatang liar. Cinta agak takut mendengar suara-suara ini,
kalau dia takut akunya senang juga, jadi aku pegang tangan dia menenangkan. Seperti
di Slamet, perjalanan sepanjang pendakian ini pandanganku tidak lepas dari
Cinta, aku akan menjaganya terus. Perjalanan dari pos 2 ke pos tiga agak lama,
sekitar satu jam.
di Pos 3 kami masih kehujanan |
Akhirnya sekitar
setengah satu kami sampai juga di pos 3, di sana ada shelter yang bisa
digunakan berteduh dari hujan. Shelter agak penuh karena ada sekitar 30 orang
di sana termasuk kami. Kami istirahat agak lama di sana untuk makan siang
membuka bekal makanan dari pondok Paiman tadi. Makan nasi bungkus dingin dalam
keadaan lelah dan lapar memang nikmat. Walaupun bungkusan itu besar, tetap saja
habis.
Pos 3 ke Shelter 1
Setelah lepas pos 3 adalah
trek sesungguhnya, karena tidak ada bonus sama sekali. Kami harus melewati
jalur yang berlumpur dan juga selalu menanjak. Aku sendiri tidak suka jalur air
yang sempit, membuat perjalanan kami agak lama. Sering kali kami memanjat
akar-akar karena terlalu tinggi untuk langsung dipijak.
Menjelang Shelter 1
hujan sudah mulai berhenti, di sana kami istirahat sejenak. Kami merapikan
mantel kembali ke carrier supaya tidak menghambat perjalanan kami. Perjalanan ke
Shelter 1 kira-kira 1 jam dari pos 3.
Add caption |
Ke Shelter 2
Perjalanan dilanjutkan
ke Shelter 2, perjalanan ini adalah yang terpanjang dan terberat dari seluruh
perjalanan yang sudah kami lalui tadi. Kami mulai terpisah, Andi dan Dayat
serta seorang Porter ada di depan. Selanjutnya om Benny sudah berjalan agak
jauh di atas kami. Saya, Cinta, dan Elvy menyusul. Sedangkan Mega, Sukma, dan
seorang Porter masih istirahat di Shelter 1.
Sepanjang perjalanan
menuju Shelter 2 ini kami selalu bertiga dengan ELvy. Perjalanan terus
menanjak, menggapai akar, melompati akar yang agak tinggi, masuk ke dalam
semak-semak yang memayungi jalur adalah menu trek kali ini. Aku masih bisa melihat
pendaki tua itu, om Benny, yang berjalan terus dengan langkahnya yang stabil dan
aku ikuti terus.
Pada suatu tempat yang
agak datar aku lihat om Benny dan beberapa pendaki sedang istirahat, kami pun
ikut istirahat. Kami istirahat sebentar sambil makan oreo yang dibawa om Benny,
aku tawarkan sambil bercanda, “ini bikin berat aja, gak mau dimakan om?” Sepertinya
dia gak mau oreonya dikeluarkan di situ, benar aja, pas di tenda dia menggerutu
kalau aku tawar-tawarkan biskuit-biskuit itu di sana, jadi habis oooh. Dalam hatiku,
kalau yang bagusan dikit sih aku bawa terus om, Cuma oreo aja, gak level gua.
Selanjutnya kami
berjalan bersama om Benny dan rombongan tetangga yang tadi istirahat besama,
malah kami bertiga jadi menyusul mereka. Terus kami menapaki jalur yang
menanjak bertiga, sesekali kami istirahat, aku perhatikan wajah Elvy agak pucat
kelelahan. Di situ terungkap, kalau ternyata ini adalah pendakian pertamanya.
Wow anak ini, pendakian pertamanya malah gunung api tertinggi di Indonesia ckckckck.
Ada yang Aneh menjelang Shelter 2?
Shelter 2 tinggal 50
meter lagi tapi hari mulai gelap, perjalanan adalah jalur air yang lumayan
cekung menjadi parit-parit alami. Aku benci jalan yang sempit seperti ini,
karena itu kalau sisinya bisa aku lewati, aku lebih suka melalui sisi-sisi
parit walaupun agak mengangkang.
Cinta berjalan di
depanku, Elvy menyusul di belakangku. Cinta minta aku jalan di depan sementara,
dan kembali lagi dia berjalan di depan. Belakangan dia mengaku kalau di situ
dia melihat seseorang, dan itu adalah ketika aku berjalan di depannya. Sampai tempat
tersebut orang itu tidak ada, dan dia minta jalan di depan lagi. Tapi ketika
lihat ke belakang, dia bilang orang itu (perempuan berambut panjang) jalan
mengikuti di sebelah kananku terus sampai ke Shelter 2. Aku sendiri sebenarnya tidak
terlalu mengerti hal-hal seperti ini.
Kami sampai di Shelter
2, sudah ada dua tenda berdiri, Dayat, Andi, dan seorang Porter. Aku
bantu-bantu mendirikan tenda ketiga. Dingin sekali Shelter 2 saat itu, angin
berhembus sangat kencang, untungnya kami memang berada di bekas bangunan
Shelter yang terlindung tebing dan pohon-pohon di depannya.
Mondok di Shelter 2
Kami memutuskan untuk
bertenda di Shelter 2, karena Shelter 3 terlalu terbuka, dan pasti banyak angin
yang berbahaya untuk bertenda. Selain itu hari sudah malam bila harus
diteruskan ke Shleter 3.
Di tenda ini kami
terbagi menjadi 4, 4, 2. Empat, empat untuk peserta dan dua untuk porter. Jumlah
laki-laki 5 dan perempuan 3, aku bilang aku di tenda perempuan aja, biar bareng
Cinta hehehe. Lagi pula aku agak khawatir kalau tidur bersama om Benny, karena
aksen bicaranya menurutku agak seperti tukang salon. Andi yang sudah stay di
tenda aku ‘usir’ untuk pidah ke tenda sebelah, dan akibat rasa pengertiannya
yang dalam aku jadi setenda sama Cinta.
Andi yang baik terus
memasakkan kami apapun yang diminta. Sementara penghuni yang lain sudah enggan
berada di luar karena dingin, aku jadi gak enak terus menemani Andi yang
kebetulan cuma kami peserta yang sama-sama merokok. Andi yang baik sudah masak
apa saja, masih dikomplain om, katanya gak masak apa-apa, ckckck repect buat
Andi, dia sadar udah meluncur meninggalkan kami dan istirahat lebih lama,
makanya dia rela memasakkan apa saja buat kami.
Sayangnya bahan bakar
yang kami bawa sudah hampir habis, maklum kami hanya membawa Cuma bawa sebotol
gas dan 600l spirtus. Sebelum berangkat Mega memang sudah bertanya, apakah
cukup membawa bahan bakarnya, aku bilang cukup, aku ingat dalam pendakian lain
bahan bakarku selalu sisa, dan masih bisa buat ngopi berkali-kali di kontrakan.
Ternyata di sini tidak cukup, maaf ya Mega, that’s my fault.
Setelah semuanya cukup
makan, kami pun berangkat tidur. Dingin sekali Shelter 2 malam itu, aku masih
mendengar bunyi angin menerpa fly sheet di sekitar kami yang dihuni empat
kelompok. Tetangga kami turis Prancis yang tidak berhenti ngobrol mengganggu
tidurku. Akhirnya akupun tidak bisa tidur dan mengganggu Cinta yang biasanya cepat
tidur. Karena lelah kami akhirnya tertidur.
“Jam 3 woi
bangun-bangun!” suara om Benny membangunkan kami, beliau sudah siap-siap
melakukan summit. Tapi aku juga mendengar hujan yang jatuh menerpa tenda, aku
malas bangun masih ngantuk, belum lagi hujan pasti membuat perjalanan tidak
nyaman. Semua peserta tidur lagi. Jam 5 kami akhirnya bangun, siap-siap,
menyiapkan peralatan narsis, membuat sarapan, dan tepat jam 6 kami melakukan
summit attack.
SUMMIT ATTACK
Perjalanan menuju Summit
dimulai. Pagi itu masih agak gelap, kami naik melewati jalan air yang membentuk
parit-parit alami agak dalam. Di kanan kiri adalah khas tumbuhan perdu yang
sangat rapat menyembunyikan jalur itu, maka di sebut jalur ini adalah jalur
tikus. Jalur ini terus serupa dan menanjak hingga Shelter 3.
Melelahkan sekali
jalur yang kami lalui dengan otot yang masih kaku baru bangun tidur, tapi
anehnya justru di Kerinci ini stamina ku baik-baik saja. Mungkin karena aku
tidak membawa beban yang seperti biasanya, atau mungkin karena selalu
bergandengan dengan Cinta.
Menjelang Shelter 3
terpaan angin semakin keras, aku berharap cuaca mendukung perjalanan kami ini. Kali
ini kami berjalan bertiga dengan Elvy, sementara Mega dan Lihun (porter) jauh
di belakang. Setelah Shelter 3 aku menjumpai patok yang aku pikir tugu Yudha,
ternyata bukan. Tugu Yudha masih satu jam lagi kata Porter, oh my God.
Menuju tugu Yudha
angin sangat-sangat keras membuat aku sempat terhuyung-huyung. Cinta dan Elvy
agak ngeri melewati jalur ini, sebenarnya aku juga J . Aku berjalan di depan setengah merangkak,
lalu setiap ada cekungan berlindung dari angin. Ada sebuah batu besar tiga jalur
tanjakan lagi ke Tugu Yudha kami berlindung, angin benar-benar membuat kami
ingat kami adalah hanya serpihan debu bagi Tuhan. Aku merambat pelan-pelan
sampai ke batu selanjutnya untuk berlindung, aku lihat ke belakang Cinta dan
Elvy tidak mengikuti, aku kasih aba-aba dan ajak mereka untuk berjalan ketika
angin agak pelan, tapi ditunggu-tunggu mereka masih takut juga. Akhirnya aku
kembali lagi ke batu tempat mereka berlindung, dan mengajak berjalan saling
berpegangan tangan. Aku ajak mereka berjalan setengah merangkak dan jangan
pernah melepaskan pegangan.
Setiap angin bertambah
kencang, saat itu juga nyali kami juga terbang entah ke mana. Butuh mental yang
kuat untuk berjalan di jalur ini. Aku bilang ke mereka, kita harus ke parit itu
untuk berlindung, dan akhirnya kami sampai di parit di depan kami.
Ada dua pendaki yang
turun, kami kenali yang perempuan bernama Meymey, aku pikir mereka sudah dari
puncak dan akan turun, ternyata si pria drop dan hampir hypo. Pantas saja
mereka turun tertatih-tatih dan si pria diselubungi sleeping bag. Meymey minta
tolong aku untuk memeluk temannya itu, karena hampir hypo. Aku lihat si pria
ini hanya mengenakan kaus dan celana pendek untuk muncak, hmm sombong juga yaa.
Aku peluk dan panggil-panggil cowo ini supaya tidak tertidur, dan minta Meymey ‘memandikannya’
dengan minyak kayu putih yang dibawa Cinta. Lama juga kami di sana, sampai dua
rekan mereka turun menghampiri untuk membawa dia kembali ke tenda. Aku gak sempat tahu nama si cowo,
lagian untuk nolong orang gak perlu juga pake tanya-tanya. Katanya si cowo
beneran hypo tapi sudah sampai tenda, dan masih tertolong.
Perjalanan diteruskan
dengan belasan kali rehat. Sepanjang jalur adalah batu dan pasir yang lumayan
stabil. Hujan mulai turun rintik-rintik dan angin tidak berhenti menghempas
kami dengan keras. Di sinilah sebenarnya klimaks kisah perjalanan kami menuju
puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia. Mega dan om Benny masih berjuang
sekitar 30 meter di bawah kami, Cinta untuk pertama kalinya bilang “mas aku
give up deh, kamu terusin aja sendiri”. Aku kaget tapi juga mengerti,
tantangannya memang berat, di atas kami tidak nampak rombongan pendaki yang
turun, begitu juga yang naik. Hujan mulai turun, dan perjalanan belum lagi
sampai tugu Yudha. Dalam hati aku juga bilang, kalau gak ada kamu gak semangat
naiknya, stamina masih ada, Cuma angin ini dahsyat banget. Aku lupa apa yang aku
bilang ke Cinta, kalau gak salah “you’ll never give up, you can make it, you
can make it, ayoo pelan-pelan aja”.
Akhirnya Cinta mau
meneruskan perjalanan dan ternyata itu menumbuhkan semangat pendaki lain, yaitu
Elvy yang mendengar pembicaraan kami dan sempat mau give up juga. Alhamdulillah
semangat Cinta, the tough girl, to her I proud of, bikin Elvy juga semangat.
Menjelang tugu Yudha
kami dihampiri Sukma dan Andi, dan memberikan bendera AWASPALA ke aku. Katanya ini
dari temannya mas, masih di atas. Well saya senang ternyata Barkah sampai di puncak
sesuai rencana. Hal ini belum saya ceritakan.
Barkah
Barkah juga anggota
AWASPALA yang mendaki Kerinci, hanya saja dia bersama tim lain. Saya berdua
Lina sudah punya rencana ke Kerinci, sesaat setelah turun dari gunung Slamet
habis lebaran kemarin. Jadi sebelumnya kami tidak memberi tahu Barkah, bahwa
kami akan ke Kerinci, bahkan pada gathering AWASPASLA di Ancol setelah
pendakian bersama ke Cikurai.
Setelah turun dari
Cikurai dia pengumuman akan pergi ke Kerinci dan meminta bendera AWASPALA untuk
dikibarkan di Kerinci. Aku sebenarnya ingin membawa sendiri bendera tersebut,
tapi dia berkeras. Aku jadi kepo mengenai itinerary dia ke Kerinci, ternyata
dia lebih cepat sehari. Akhirnya aku ngaku juga mau ke Kerinci, dan membuat
skenario tancap dan jemput bendera. Karena dia yang datang duluan, maka dia
harus menancapkan bendera di puncak atau minimal di Shelter 3, kalau dia tidak
sampai puncak. Begitulah cerita keberadaan Barkah di jalur pendakian kami.
Setelah Sukma memberi
bendera itu, kami istirahat sebentar untuk membongkar bawaan Andi, roti tawar
dan susu krim. Masih mending bawaanku roti sobek dan beberapa coklat, belum
lagi nata de coco. Kami istirahat dulu di situ, eh dari kejauhan ada yang
memanggil, “Mbak Linaaa!!” Barkah ternyata di sana dengan Shaun the Sheep nya menuju
ke kami. “Mas mas itu Barkah”, kata Cinta. Well kami akhirnya bertemu di sini,
tapi dia sudah sampai puncak. Itu menambah semangat kami lagi.
Om Benny dan Mega
bergabung bersama kami, istirahat di sini sementara untuk makan roti tadi. Walaupun
ada sebel sama om Benny, aku respect akan semangatnya. Well done om Benny, see
you soon.
Tugu Yudha
Setengah jam kemudian
kami mencapai tugu Yudha, ada penasaran juga di dalam hati, tugunya punya nama
sama denganku. Aku mau tahu apa sih tugu Yudha, well tugu Yudha itu nisan atas
nama Sentika yudha yang wafat di sini. Aku tidak tertarik lagi, bahkan untuk
foto-foto di dekatnya bikin mood jadi turun. Tapi dari tugu Yudha ini aku bisa
melihat puncak, yang sedikit-sedikit menghilang ditutup kabut, ini membuat
semangat kami semakin membara.
Kami lanjutkan
perjalanan kami, dan ternyata di atas baru kita bisa melihat lagi ada rombongan
pendaki lain yang sedang naik. Rombongan pendaki itu bahkan hampir kami susul,
dan kami lebih dulu sampai bendera. Aku bilang, “Cin itu benderanya di sana,
kita udah sampe, itu benderanya.”
foto bareng Cinta di puncak tertinggi |
Keren kan? |
kika: Mega Barutu, Lihun, Lina, aku Elvy, Om Benny |
Awaspala ada di puncak-puncak tertinggi |
Kami pun sampai di
puncak Kerinci, menyusul pendaki-pendaki lain. Aku lari ke arah bendera dan
memang itulah puncaknya, aku kepalkan kedua tangan kuangkat ke atas. “yeah,
puncak cin.” Aku hampiri Cinta, aku peluk aku cium keningnya, “akhirnya kamu
sampai puncak cin.”
Selanjutnya adalah
sesi narsis bersama tulisan 3805 mdpl yang jadi rebutan. Angin tetap berhembus
kencang, ditambah bau belerang mengganggu kami, tapi kami sedang senang, kami
tidak menghiraukan itu semua. Sepuluh menit kenudian om Benny datang sambil
mengangkat sepasang trekking polenya tinggi-tinggi di susul Mega.
Kami semua berhasil
mencapai puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia. Well done Cinta, well
done Elvy for your first summit, well done om Benny, you’ve reached the summit
at your 64. Well done Mega, you’re success to bring us there.
Walaupun menurut rencana kita juga akan ke danau Gunung Tujuh, tapi cuaca bukan kita yang mengatur, biarkan danau Gunung Tujuh tetap menjadi next trip kita sekaligus reuni pendaki-pendaki Kerinci yang tangguh ini.