Wednesday, October 23, 2013

Slamet, Puncak Ikatan :Sebuah Catatan Perjalanan



Galau semua teman punya acara nanjak abis lebaran, sementara saya bakal bengong di rumah. Ada tawaran nanjak ke Rinjani atau Semeru lagi, saya mau yang lain.
Teman dari Jambu Kupi punya acara sendiri-sendiri gak ngajak-ngajak, akhirnya saya tunggu undangan yang lain aja. Ternyata ada BC dari Anja, teman nanjak Rinjani tahun 2012, ngajak nanjak ke gn. Slamet. Sayang saya gak punya teman dari AWASPALA yang ikut, saya bilang ke Anja nanti deh pikir-pikir dulu.
Sementara saya lagi kasmaran sama teman nanjak waktu ke Semeru Juni 2013 lalu, saya kasih semangat dia yang mau ke Rinjani. Sepertinya dia udah siap semuanya untuk mencapai puncak Rinjani. Tapi tiga pekan sebelum hari H, dia bilang gagal ke Rinjani karena ada tugas ke pabrik yang di Pontianak.
Saya jadi ingat tawaran ke Selamet dari Anja, saya langsung tawari dia ke Selamet pendakian bersama GreenForest tgl 16 – 19 Agustus 2013. Dia langsung OK, karena sesuai jadwalnya. Mulailah saya menghubungi Anja tanya itinerary nya dan harga iuran karena tertera Rp. 300.000 untuk yang dari Bandung dengan fasilitas transport PP. Akhirnya saya dapat harga dua ratus ribu, tapi berangkat dari Jakarta. Saya gak pikir panjang saya pikir saya dapat transport dari purwokerto ke meeting point, ternyata KAGGGGAAAK.

Saya udah keburu senang karena pergi berdua Cinta, saya tidak lagi cerewet tanya ke Anja, kalo saya nanti dapat apa aja. Saya percaya aja ke Anja, karena dari cerita-cerita pengalaman dia yang udah naik ke sana-sini dan beberapa kali bikin even bersama http://ngesottrip.com/ . Saya baru sadar harus tanya ini itu waktu Cinta tanya di pertemuan di Bandung perayaan Ultahnya anak AWASPALA lain Yogi and Casper.
Saya sudah terlanjur transfer 400.000 untuk dua orang sementara Cinta membelikan tiket KA pulang dari Purwokerto yang harganya 200 lebih, Cinta emang baik. Saya tanya terus si Anja soal itinerary nya, dan responnya lama banget. Dari itu saya udah gak berharap banyak dari Anja.

PERSIAPAN


Beda dari pendakian saya sebelumnya, saya bahkan gak mempelajari serius karakteristik gunung Slamet apa lagi peta jalur pendakian. Saya ingin mengandalkan panduan dari kelompok pendakian ini, tapi tidak ada, karena sebenarnya praktis semua kami urus sendiri. Saya hanya mempersiapkan logistik yang tadinya saya mau beli di lokasi meeting point, tapi saya khawatir di sana kami tergesa-gesa mempersiapkan semuanya.
Saya hanya ingat untuk mencetak voucher tiket KA yang sudah saya beli online, karena khawatir nanti harus antri panjang di stasiun Pasar Senen. By the way, kami dapat tiket promo KA Sawunggalih seharga 50.000 dan 75.000, karena mungkin jarang peminat untuk pergi ke daerah pada masa setelah  lebaran itu.
Cinta sudah mempersiapkan carriernya di kantor di daerah Jl. Sudirman dan berencana langsung ke kantor setelah mendarat dari Pontianak.

TRIP DI MULAI


Aku minta ijin untuk titip motor di gedung kantor Cinta, karena berdasarkan pengalaman yang lalu ke stasiun Pasar Senen, saya mengalami masalah kemacetan. Berangkat dari rumah jam setengah lima sore ternyata sampai di gedung kantornya Cinta gak sampai satu jam. Sampai di sana saya ragu-ragu mau masuk ke gedung karena saya bawa tas yang tingginya melebihi kepala saya, takutnya ditanya ini itu. Saya akhirnya memutuskan untuk menunggu di warung rokok agak jauh ke dalam di ujung jalan kantor itu.
Pesan kopi sebentar sambil istirahat di warung rokok yang teduh itu, kebetulan di sana juga banyak orang yang mengaso sambil ngopi. Kopi siap dan baru saya aduk-aduk dikit, di seberang jalan saya lihat sosok yang saya tunggu sambil menarik tas berroda. Saya panggil-panggil tepuk tangan dianya gak liat, ternyata dia kelaparan langsung masuk ke warung nasi di seberang jalan itu. Saya baru tahu, ternyata pegawai kantor yang di ujung jalan sana lebih suka makan di sini.
Setelah repacking di kantor, kami berangkat ke stasiun Pasar Senen dengan Taksi yang mungkin tidak sampai seprapat jam dari sana, suasana jalan di Jakarta waktu itu sangat ramah dan lancar.


BARENG TAPI MISAH


Saya dan Cinta sama-sama ke Purwokerto dengan kereta yang sama, tapi pisah tempat duduk jauh sejauh 3 gerbong. Ngetrip bareng orang yang dikangen-kangen memang enak, tapi BT kalau harus pisah gerbong. Singkat cerita, walaupun sebenarnya lama, sampailah kami di Stasiun Purwokerto jam 2 malam tgl 17 Agustus 2013.
Berkali-kali menghubungi Anja untuk kepastian di mana kami dijemput, ternyata kami harus ke pertigaan Serayu untuk bergabung ke Bambangan gerbang pendakian. Saya tahu Cinta kecewa, tapi saya rasa gak enak sama Anja karena teman, ke sana gak enak ke sini gak enak.
Akhirnya kami sepakat untuk mencari angkutan langsung, tapi sebelumnya cari-cari teman senasib yang mau nanjak Selamet. Mudah sekali mencari teman sharing cost, karena ciri-ciri nya bisa dilihat dari bawaan dan gaya pakaian mereka. Ada empat pendaki lain yang juga mau ke Bambangan yang akhirnya jadi teman sharing cost angkutan seharga 350.000 sampai Bambangan.
Perjalanan sunyi mendebarkan
Perjalanan ke arah Barat Daya Purwokerto pada dini hari itu sangat sunyi, maklum ini bukan kota besar. Setelah setengah jam perjalanan, teman-teman kembali meneruskan tidur, sementara saya tidak bisa tidur memperhatikan arah perjalanan. Iri saya sama Cinta yang gampang tidur, padahal di kereta tadi saya sempatkan ke tempat duduknya, dia asik meringkuk di kursi terlelap, mungkin karena kecapean kunjungan kerja nya.
Melewati pertigaan Serayu perjalanan diteruskan sampai ke daerah perbukitan yang terus menanjak dan diselimuti kabut tebal. Mobil yang kami tumpangi ternyata tidak dilengkapi lampu kabut, sehingga kami harus berjalan pelan, karena sang supir tidak bisa melihat jauh melebihi 5 Meter. Supir justru berjalan di sebelah kanan, kerena di sana dia bisa melihat pinggir jalan sambil membuka jendela mobil. Kecepatan kami mungkin hanya 5KM/jam waktu itu.
Setelah hampir tiga jam perjalanan dan bertanya beberapa kali pada penduduk setempat, akhirnya kami sampai di pondok pemuda Bambangan. Kami di sambut kabut dan gerimis, saya tidak bisa menghubungi Anja. Di Pondok itu banyak pendaki yang tidur, tapi pintu dikunci dari dalam, sementara kami di luar. Karena dingin kami ingin masuk dan mengetuk pintu beberapa kali, sayangnya mereka tidur sangat nyenyak hingga tidak menyadari banyak pendaki di luar pondok.
Setengah jam kemudian datang rombongan pendaki lain, di antaranya ada turis dari Jepang. Salah satu dari rombongan pendaki itu berinisiatif membangunkan pendaki yang tertidur di dalam. Pintu pondok akhirnya terbuka, lumayan kami bisa masuk dan berlindung dari angin. Sambil menunggu kepastian Anja, kami melakukan repacking. Kami menunggu sampai hampir satu jam, tidak ada tanda-tanda rombongan Anja. Kebetulan malah saya ketemu Anja di wc belakang gedung waktu saya ingin sikat gigi. Dia bilang rombongan sudah sampai tapi di bawah dekat kepala desa. Saya bilang saya tunggu di sini aja, toh ke sana juga gak dapet apa-apa.
Kami berdua akhirnya memilih sarapan di warung bu Yuli di depan pondok, lumayan Cinta bisa pinjem wc nya juga. Nasi sayur kacang panjang dan tempe ditambah dadar telor dengan rasa yang biasa saja terpaksa kami  lahap, karena itu satu-satunya warung yang ada. Segelas teh manis hangat mengobati rasa dingin pagi itu. Selesai makan, sebenarnya sudah hampir jam 8 pagi, tapi tidak ada tanda-tanda kelompok Anja, padahal menurut itinerary jam 7 sudah harus start. Kami yang terlanjur kecewa sudah masa bodoh dengan jadwal. Malah karena menunggu lama, kami keluarkan lagi kompor untuk masak air di dalam pondok. Baru saja api kompor spirtus jadi, datang rombongan Anja, kami tidak jadi masak air, dan segera repacking.
Jam 9 pagi kami mulai meninggalkan gerbang Bambangan yang masih diselimuti kabut tebal dan gerimis. Kami melewati perkebunan bawang merah milik warga. Sepanjang perjalanan adalah perkebunan bawang dan kacang tanah sampai ke lapangan yang luas, setelah itu perjalanan menanjak tanpa bonus. Pos satu kami raih sekitar jam 11 lebih. Di pos satu ada pedagang makanan yang mejual lontong/ ketupat dan tempe mendoan yang digoreng di situ. Saya sempatkan membeli lontong dan mendoan untuk bekal makan siang nanti, sementara saya dan Cinta istirahat dan makan kurma sambil narsis-narsis dulu. Pemandangan kota di bawah melalui pos satu siang itu sangat indah, kabut sudah hilang sehingga pemandangan ke bawah terlihat jelas.


KE POS 2


Perjalanan ke Pos 2 melewati jalur yang berdebu karena waktu itu terik sekali sehingga tanah jalur pendakian jadi berdebu, walaupun sepanjang jalur banyak pohon-pohon yang lumayan melindungi kami. perjalanan pos 1 ke pos 2 juga perjalanan menanjak tanpa bonus, sesekali kami harus menunduk atau melompati akar pohon. Setelah satu jam kami sampai di pos 2.  

KE POS 3


Berjalan menanjak berdebu dengan beban berat sangat menguras tenaga, kami sering kali istirahat. Beban paling berat adalah air yang harus kami bawa, karena di atas tidak ada sumber air menurut info pendaki yang turun yang kami temui di Bambangan. Untung saja Cinta membawa MP3 player yang dihidupkan sepanjang perjalanan, sehingga cukup menghibur kami. Apalagi ada lagu kenangan kami di sana ‘footprints in the sand’ milik Leona Lewis. Pos 3 juga kami raih sekitar satu jam.

POS 4 dan POS 5

Pos 4 dan pos 5 kami raih masing-masing setengah jam, tapi tetap saja perjalanan menanjak tanpa bonus. Kami sering kali berpapasan dengan pendaki yang turun, sehingga banyak debu mengganggu perjalanan kami. Di pos 4 maupun pos lima banyak pendaki yang membuka tenda, dan kelompok kami terhenti di pos 5. Lahan berkemah sudah penuh karena banyak sekali pendaki yang berkemah, sedangkan ruangan pos sudah ada yang menempati. Mencari ke sana ke mari, akhirnya kami membuka tenda di depan bangunan pos 5 yang sebenarnya miring.


BERTENDA DI POS 5


Menjelang maghrib kami akhirnya selesai membangun tenda di Pos 5 ini. Kami mendapatkan lahan di depan pos dengan alas yang miring, sudah terbayang nanti malam tidur pasti merosot terus.
Angin datang dari hadapan tenda dan sangat kencang, senja itu saya sudah menggigil dan cepat-cepat mengenakan sarung tangan. Sambil Cinta beres-beres dan ganti baju di dalam tenda saya nyalakan kompor gas portable saya. Maksud hati masak air ditunggu lama ternyata api mati dan air yang ditunggu udah pasti gak kunjung mendidih. Ternyata kompor ini gak cocok dipakai di sini, semprotan gas nya macet mungkin karena beku, sedangkan angin yang berhembus juga membuat api selalu mati, maklum saya masak di luar tenda tanpa flysheeet tambahan.
Akhirnya kami putuskan masak di dalam pakai kompor spirtus, lumayan juga panasnya untuk menghangatkan tenda, untung Cinta bawa kompor spirtus. Hati-hati kami masak di dalam tenda akhirnya menu wajib Cinta, yaitu bubur instan selesai. Masak air lagi untuk menyeduh kopi dan energen. Cukup itu saja nutrisi kami menjelang tidur, lumayan untuk mengganjal perut yang lapar. Kami pun berangkat tidur cepat-cepat untuk Summit attack nanti dini hari. Tapi seperti biasa saya gak bisa langsung tidur, terus ngajak ngobrol Cinta, maksudnya mau mencairkan suasana, malah jadi ngobrol serius(masalah masa depan) yang bikin saya gak bisa tidur.
Akhirnya saya lihat Cinta udah bisa tidur, sementara saya cuma bolak balikin badan seperti lagi goreng pisang, gak bisa tidur, dingin dan pasti merosot terus.

KOMPOR MELEDUK


Dorrr kaget saya ternyata sempat tertidur juga, dan masih bingung ada apa, tenda gelap sementara ada pemandangan terang benderang dari luar tenda Cuma berjarak sekitar 30Cm dari bagian kepala Cinta. Saya langsung duduk, cari head lamp susah banget sementara, Cinta udah menabrak saya ketakutan, karena di luar suara perempuan berteriak-teriak sambil menyebut nama Allah berulang-ulang. Aku masih bingung, tapi itu pertama kalinya Cinta meluk saya, sayang dalam keadaan ketakutan, sayanya juga kebingungan.
Saya langsung menduga ada yang kesurupan, maklum di gunung. Tapi api di luar yang membuat terang membuat penasaran, lama cari headlamp gak ketemu, saya langsung buka resleting pintu tenda dan tengok ke luar. Ternyata bukan kesurupan, ada seorang pendaki perempuan yang ingin masak dan menyalakan kompor gas tapi kompornya meledak. Si korban masih histeris, tapi sudah dikerubungi teman-teman tendanya dan sudah diberi pertolongan. Saya tidak bisa lihat lagi, karena makin banyak yang mengerubung. Saya kembali masuk ke tenda mau cari headlamp dan  menenangkan Cinta, siapa tahu dapet pelukan lagi, eh Kagakk ehhehhe.
Nguping dari tenda, ternyata si korban terbakar kakinya parah, karena api menyambar kaus kakinya, jadi lama juga menempel di kakinya, itu yang membuat dia histeris dan lukan bakarnya menyebar. Karena yang bersangkutan sudah diurus oleh rekan-rekannya, saya meneruskan tidur sambil melorot lagi.

SUMMIT ATTACK


Badan saya rasanya lemas dan rasa kantuk ditambah udara yang super dingin membuat saya malas menanggapi teman-teman yang membangunkan untuk persiapan Summit. Dari dalam tenda kami mendengar para pendaki sibuk dan saling membangunkan untuk melakukan Summit. Sambil ngulet lagi dan membetulkan sleeping bag, saya tanya ke Cinta, “Cin, mau summit?” “Iya mas ayo”, jawabnya.
Sejujurnya saya males Summit karena BT selama pendakian kami seperti pendakian duo, padahal kami ikut even penmas. Sejak dari Jakarta sampai Bambangan, bahkan mencari lahan tenda, kami mengurus semuanya sendiri, itu yang bikin BT.
Tapi saya sadar, kami kan ke gunung selain untuk menikmati keindahan alamnya, kami juga punya tujuan lain, yaitu puncak dan narsis bawa bendera AWASPALA. Sedangkan saya tidak akan lupa membawa sesuatu, kejutan untuk Cinta yang masih tersembunyi di day pack. Bergegas kami persiapkan makanan dan minuman, serta perlengkapan narsis kami. Kami ternyata dimasukkan ke kelompok kedua, sambil menunggu yang lain siap, kami sempatkan masak mie goreng, nikmatnya makan mie goreng senaesting berdua Cinta.
Sepanjang jalan kami banyak menemui edelweis yang sedang berkembang, begitu indahnya edelweis bisa kami nikmati setelah turun dari puncak. Karena pada saat itu yang edelweis yang kami bisa lihat menjelang batas vegetasi. Matahari mulai menemani kami setelah jalur ini.
Karena kami mulai dari Pos 5, perjalanan muncak lumayan panjang. Kami mulai jam 2 pagi, dan batas vegetasi kami lampaui sudah dalam keadaan terang. Setelah itu tantangan sebenarnya, batu batu tajam yang sangat mudah membuat kami tergelincir. Kami harus hati-hati dan kami bersyukur, cuaca pada saat kami melakukan perjalanan puncak mendukung, tidak ada kabut. Kami berdua setuju, perjalanan muncak Slamet ini adalah termasuk perjalanan yang berat, maungkin karena ini dilakukan pada libur lebaran, sementara kami tidak mempersiapkan fisik dengan baik. Tapi memang medan yang kami lalui saat itu berupa batu-batu dan pasir yang licin, sehingga menguras tenaga.

Puluhan kali kami melakukan break, menjelang jam sepuluh kami bisa melihat para pendaki yang narsis di puncak. Senang sekali dan membuat semangat kami kembali bergelora. Kami lihat ke bawah dan sekeliling, subahanallah pemandangan ke bawah indah sekali, kami berdiri di atas awan. Awan mengelilingi gunung Slamet, sementara kami berdiri di puncaknya.
Puncak gunung Slamet ternyata luas juga, berbentuk mamanjang. Kami langsung narsis-narsis dan membuka makanan favorit kami kalau muncak, nata de coco. Segarnya nata de coco sangat berbeda kalau dimakan di ketinggian 3.428mpdl. saya bawa bendera merah putih sebagai rasa cinta tanah air, kami berfoto bersama bendera yang berkibar-kibar diterpa angin puncak gunung Slamet. Dari sini kami bisa melihat indahnya Sindoro Sumbing.

MAY I be your …


Menjelang puncak sampai selesai foto-foto tadi sebenarnya saya dag dig dug. Di tas saya ada sesuatu, kejutan yang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, kejutan untuk Cinta. Saya mau melamar Cinta di sini, di puncak tertinggi Jawa Tengah, tapi malu mau bilangnya, terus skenarionya juga saya masih gak ada ide. Makin ragu-ragu lagi kalau inget pembicaraan menjelang tidur di tenda dan sebenarnya bikin saya makin susah tidur. Tapi tekad saya untuk melamar Cinta di sini tidak berkurang, dan saya akhirnya minta tolong teman-teman untuk bikin skenario lamaran. Saya minta waktu saya duduk berdua nanti ada ‘pelayan’ yang membawa kejutan ini disaksikan semua teman yang muncak pada waktu itu. Setelah itu saya ajak Cinta foto-foto lagi cari spot yang lain sambil buying time.

Akhirnya ketegangan saya makin jadi, ketika kami berdua ngobrol dan teman-teman semua mengerubungi kami. Satu orang maju ke kami dan membawa kotak kecil berwarna ungu itu. Kotak kecil yang  isinya aku persembahkan untuk Cinta, dan selamanya untuk Cinta. Dia memandang ke saya lama, saya senyum sambil memberi sinyal memandang dia untuk mengirim pesan “I’m sure”.
Saya takut Cinta menolak isi kotak itu, tapi ada teman pendaki cewe yang ikut mengerubungi kami bilang ‘Oh My God, pake-pake pake-pake’ saya jadi agak tenang. Selanjutnya saya kenakan cincin kecil itu di jari manis Cinta, sambil berbisik, “Cin, aku akan tetap melamar kamu seperti normalnya, yaitu di depan bapak kamu, tapi ini anggap jadi khitbah hati aja.” Dalam hati saya berdoa, Cinta jangan tolak saya dan berharap cincin ini dipakai terus. Cincin itu sudah berhasil pas dikenakan dijari manis Cinta, saya dalam hati bilang, “oh my God, aku baru nglamar Cinta di puncak gunung,” terbayang nanti aku bangga cerita ke anak/cucu di mana saya melamar Cinta.

















Misi kibar bendera AWASPALA sukses, misi terselubung saya juga sukses, alhamdulillah. Untuk saya pribadi ini adalah pendakian yang tidak akan saya lupakan, selain melelahkan, di puncaknya saya berikrar dalam hati untuk setia mendampingi Cinta.
Kami pun kembali turun ke pos 5, tenda kami. Dalam perjalanan turun ini kami sudah ekstra hati-hati, tetapi sempat juga saya terjatuh, kaki saya terjepit di sela batu-batu besar itu. Sampai di tenda sudah jam 14.00, beberapa tenda tetangga kami sudah hilang, pos 5 panas dan berdebu, ditambah tiupan angin yang membawa debu itu berputar-putar.

PULANG


Kami berdua memutuskan untuk lekas turun ke Bambangan, karena tidak merasa nyaman bertahan di tenda. Memang kami lapar, tetapi bisa kami tahan untuk dilampiaskan di pos Bambangan. Rekan kami tidak ada yang mau turun bersama kami, akhirnya kami pergi turun berdua dengan maksud mengejar angkutan ke stasiun karena kami harus ke stasiun tepat waktu.
Biasa dari perjalanan turun kami, kecuali kami berdua mengalami robek di celana kami pada bagian bokong terkena akar-akar yang kami lewati dan istimewanya ya saya bisa jalan bareng orang yang dikangen-kangen sambil dengerin lagu-lagu dari MP3 player hehehe. Perjalanan turun ini kami lalui dengan santai saja sambil menikmati keindahan alam hutan tropis gunung Slamet dan waktu pribadi bagi kami( cerita di sini untuk anak/cucu).
Satu persatu pos kami lalui, hingga pos satu di mana kami tahu ada bakul mendoan yang setia menunggu di pos satu. Sampai di sana ternyata tidak ada mendoan hangat, yang ada adalah mendoan yang sudah dingin, lumayan saya mengisi perut, tapi Cinta tidak mau entah mengapa.
Kami melanjutkan perjalanan ke Bambangan menjelang senja, dalam bayangan kami jarak perjalanan tinggal sedikit lagi, tapi ternyata lumayan jauh. Perjalanan turun ke Bambangan adalah tanah berdebu pada jalur pendakian yang curam, dan terasa sangat licin, memaksa kami harus hati hati. Kehati-hatian ini menguras tenaga dan juga wakt tempuh. Menjelang lapangan dekat ladang penduduk, kami mendengar adzan maghrib. Kami putuskan untuk terus berjalan, istirahat sholat di pos Bambangan. Sampai di lapangan kian gelap, kami berhenti sebentar menyiapkan head lamp, di situ saya merasa nyaman sekali dan ingin sekali tidur-tiduran sebentar. Pendaki lain melewati kami dan mengajak agar segera pergi dari situ. Sementara rombongan pendaki lain menahan diri agak di belakang menunggu semua anggotanya, sehingga setelah itu kami berdua berjalan sepi sepanjang tegalan.
Ada keraguan sedikit di hati saya, karena saya tidak memperhatikan perjalanan waktu memulai pendakian ini. Kemarin itu perjalanan berkabut, dan saya tidak ingat jalan kembali, Cuma lapangan dan ladang bawang yang jadi patokan saya.
Semakin gelap dan sepi, sementara kami berjalan hanya berdua di sepanjang jalur itu, tidak ada pendaki lain yang menyusul. Di depan dari kejauhan sekitar 50 meter saya melihat orang berjalan cepat sekali dengan senter yang digoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Agak lega, ada penunjuk jalan, saya ikuti terus, dan kami tidak beristirahat sedikit pun. Anehnya, Cinta tidak melihat orang yang saya maksud.
Saya jadi ingat cerita-cerita aneh di gunung ini, gunung Slamet, katanya banyak kejadian-kajadian aneh yang saya sebenarnya tidak pedulikan. Tapi suasana maghrib itu, ditambah Cinta sedang M juga, membuat saya berpikiran aneh juga, dan perjalanan pulang itu jadi terasa tambah lama.
Lama sekali kami mengikuti orang yang saya pikir penduduk setempat. Jadi ingat ayeg-ayeg di Semeru lalu, perjalanan pulang ini kenapa lama berakhirnya?
Di perjalanan itu ada yang melegakan, kami berpapasan dua rombongan pendaki yang baru naik, lega ternyata kami tidak tersesat. Sampai di ujung sawah, kami bingung kok ada jembatan kecil untuk menyeberang pematang. Seingat saya kemarin tidak lewat jembatan. Ada juga jalan ke kiri, jadi bingung. Untung ada rumah penduduk, kami kulonuwun di sana bertanya arah pos. ternyata kami memang harus lewat jembatan itu, dan tidak lebih 30 meter adalah pos Pemuda, jadi malu nih akibat nervos takut tersesat.


PENDAKI TUA YANG BAIK HATI


Sampai di Bambangan kami beristirahat di warung mbak Yuli yang tepat berada di depan pos Pemuda. Lumayan bisa makan nasi normal dengan lauknya yang sudah dingin. Di sini kami juga bisa bersih-bersih badan.
Saya bertanya-tanya tentang angkutan yang berangkat ke Purwokerto, atau paling tidak ke pertigaan Serayu. Ternyata tidak ada angkutan tetap yang ke sana, kecuali truk sayur yang biasanya berangkat pagi-pagi sekali, tapi itu juga tidak pasti.
Beruntung kami di sini juga bersama pendaki yang turun bertemu di pos 2, saat dia minta salonpas tadi. Ternyata si mas ini menunggu bos nya yang juga sedang turun. Dia menawarkan kami untuk ikut saja dengan mereka sampai Purwokerto. Waktu itu sudah jam 10 malam, kami sudah selesai makan dan bersih-bersih. Dia juga heran kenapa sang bos belum sampai juga. Akhirnya dari situ komunikasi kami cair juga, saya menemani dia ngobrol mengenai pendakian, dan juga kejadian-kejadian aneh di gunung Slamet. Termasuk hal-hal ganjil tempat saya tadi istirahat agak lama dekat lapangan. Ternyata di situ termasuk ‘pasarnya’, pantes saya disuruh cepat pergi waktu istirahat tadi. Untung cerita-cerita itu saya dapat setelah saya turun. Sementara saya ngobrol, Cinta bisa tidur di dalam kamar tamunya bu Yuli.
Tengah malam kira-kira, baru rombongan sang bos sampai, sementara penjemput sudah hampir satu jam menunggu bersama kami. Dari ngobrol-ngobrol ini, saya baru tahu, ternyata sang bos ini maniak gunung, usianya sekitar 60an tahun. kalau sang bos ngajak naik, semua anak buahnya gratis tinggal bawa badan, dan mereka sudah pernah ke berbagai gunung bersama.
Ngopi ngeteh sebentar, kami langsung berangkat ke Purwokerto menggunakan pick up terbuka. Saya sempat tertidur duduk di bak belakang, berisik suara teman-teman ternyata sudah sampai di toko/rumah bos. Saya tidak tahu ini daerah mana, tapi malah kami selanjutnya diantar anak bos ke stasiun. Sekitar jam 2 malam kami sudah di stasiun, selalu ada orang baik dalam perjalanan kami. Terima kasih bos, Cuma saya belum sempat tahu namanya karena saya duduk di belakang.

 JADI GELANDANGAN DI STASIUN PURWOKERTO


Masih dini hari di stasiun Purwokerto, dan kami belum boleh masuk stasiun. Kami mencari mushola terdekat untuk sekedar istirahat menunggu kereta kami yan datang jam setengah sembilan. Tapi tidak ada mushola, yang ada masjid yang terkunci pagarnya di sebelah Timur stasiun. Akhirnya kami berusaha istirahat di ruang tunggu, tapi tetap tidak bisa tidur, karena sebentar-sebentar speaker stasiun mengganggu dengan pengumumannya.
Cari sana sini tidak ada spot yang bagus, akhirnya kami buka matras di depan toko roti stasiun langsung tidur. Jadilah kami gelandangan semalam di Purwokerto. Tidur sebentar hingga adzan subuh membangunkan kami, kami bergegas ke masjid sekalian bersih-bersih, buat saya tidak apa-apa jadi gelandangan seperti ini asal jalannya bareng Cinta.







Print Friendly and PDF

No comments:

Post a Comment