Friday, October 25, 2013

Kerinci, the journey I wont forget



Perjalanan ke Kerinci sudah aku rencanakan dari tahun lalu dengan membeli tiket promo ke Padang untuk waktu sekitar pekan ketiga Oktober 2013. Menurut rencana, perjalanan ini akan saya lalui bersama reuni pendaki Rinjani Consina 2012. Sayang sekali tiket kami terbang bersama si macan dibatalkan dan belum ada kepastian sampai tulisan ini dibuat, apakah kami mendapat refund. Kepastian ini diinformasikan teman yang membelikan tiket sebulan sebelum keberangkatan.
Aku hampir melupakan Kerinci untuk tahun ini, karena perjalanan ke sana lumayan mahal dan untuk mencari tiket pesawat promo dalam waktu dekat tidaklah mudah. Aku chating dengan Cinta maksudnya mau Curhat, malah dia udah regist perjalanan ke sana, aku jadi mau ikut juga even itu. Pertama karena memang tahun ini aku udah planing ke Kerinci, kedua khawatir sama Cinta, karena ini adalah pendakian ke volcano tertinggi di Indonesia, dan di gunung ini si belang masih banyak.
Aku berkeras ikut dan minta tolong dicarikan tiket, bukannya gak bisa cari tiket online, tapi setiap aku mau pergi bareng Cinta memang aku minta dicarikan supaya duduknya bareng. Baiknya Cinta, bukan Cuma mencarikan tiket malah sudah sekalian ditransferkan uangnya. Apapun yang dipilihkan aku bilang ok aja, dapet pergi pakai Garuda dan pulang pakai Sriwijaya. Well, buat aku lumayan mewah pergi pake garuda sekarang ini, maklum Cuma guru honor.
Sip semua tiket sudah siap sejak Agustus, sepekan setelah pulang dari peresmian AWASPALA di Curug Panjang. Aku gak pernah pamer mau pergi ke Kerinci ke anggota AWASPALA karena memang bukan untuk dipamerkan, juga tidak mengajak satu orang pun dari mereka karena menurut aku ongkosnya memang jauh lebih tinggi dari pada ke gunung-gunung yang biasa kami daki di Jawa. Tiket Garuda 850K, tiket Sriwijaya 550K, udah include airport tax, dan biaya regist 850K. Jadi ongkos pendakian ini lumayan 2250K, well sama dengan ke Rinjani tahun lalu. Tapi alhamdulillah, ada rejeki menjelang keberangkatan. Dari sekolah ada uang upah kegiatan ini itu jadi bisa tenang.
Pada perjalanan kali ini kami bersama BPI yang dikoordinasi Mega Barutu. Kelompok kami pada akhirnya terdiri dari Mega, Elvy, Lina, aku, Dayat, Andi, Sukma, dan Om Benny. Jadi semua menjadi 8 orang, yang seharusnya ada 10 orang.

Persiapan

Seperti pendakian ke Slamet, aku nitip motor di kantornya Lina di daerah Sudirman. Berangkat bersama Jum’at 11 Oktober 2013, jam 13 pas naik taksi menuju Gambir. Dari Gambir kami naik bis Damri menuju bandara, keren juga di tiket dituliskan 2F, gate untuk Garuda mmm. Penerbangan kami masih jam 16:05, tapi kami mengantisipasi kemacetan menuju bandara. Benar saja perjalanan menuju bandara memang sangat macet, dan kami tiba sekitar jam setengah 3. Kami langsung cek in dan menunggu boarding yang 20 menit sebelum keberangkatan kami. Sempat juga sholat ashar di mushola bandara SOETTA ini, wangi dan nyaman musholanya 2 thumbs.
Cinta, aku suka gayanya ke bandara pake sendal jepit, dan ini sudah berkali-kali dia lakukan, benar-benar sendal jepit swalow J. Tidak mengurangi rasa suka saya, walaupun dia cuma pake sendal jepit, low profile, that’s why she’s my type.
Menunggu di ruang tunggu SOETTA selama hampir dua jam tidak membuat aku bosan, karena nunggunya bareng Cinta. Kami bisa ngobrol, bercanda, sehingga bisa membunuh kebosanan menunggu waktu boarding.
Tiba waktunya boarding dan memulai penerbangan. Cuaca Jakarta waktu itu cerah dan tidak menimbulkan kekhawatiran untuk terbang. Aku punya masalah sendiri kalo terbang, saat landing telinga ku bakal sakit karena perubahan tekanan udara. Fasilitas di dalam pesawat ini adalah lcd touch screen di setiap kursi, dan hidangan ketupat opor ayam. Sayang lcd nya agak-agak lemot.
Dalam penerbangan ini beberapa kali kami untuk tetap mengenakan sabuk pengaman, dan memang aku merasakan beberapa kali turbulensi ringan, cuaca di luar pun mendung. Tiba pada waktunya landing, pemandangan di luar pesawat gelap gulita, kami lihat di lcd sudah menunjukkan angka 0km menuju destinasi. Aku merasakan pesawat yang sudah turun, naik lagi dan berjalan berputar-putar,”mas, pesawatnya kok naik lagi?” kata Cinta. Dalam hatiku, pasti banyak antrian untuk landing, atau memang cuaca di bawah sangat tidak mendukung untuk landing. Aku agak nervos saat itu, aku pegang tangan Cinta, “Cin kamu takut?” tapi dianya diam aja. Aku berdoa dalam hati ‘La Hawla Wala Quwwata illa Billah’. Tapi setelah beberapa kali berputar pesawat landing juga, turunnya agak bergetar, dan kami mendarat mulus, walaupun ada getaran sedikit, aku langsung berucap spontan, “wow pilotnya keren nih Cin, landingnya termasuk mulus di cuaca begini.” Hujan deras menyambut kami yang baru tiba di bandara Minangkabau, pantas saja kami berputar-putar agak lama di atas.
Di bandara kami sudah ditunggu oleh peserta lain, om Benny, kakek berumur 64 tahun yang sudah tiba lebih dulu. Beliau sudah datang sejak jam 5 di bandara katanya. Kami mengalami beberapa kesalahpahaman waktu itu, tapi sebenarnya memang om Benny ini unik, kami merasa tidak salah saat menentukan tempat bertemu, tapi beliau lebih tidak terima. Ya sudah kami diamkan saja beliau yang tidak mau bergabung menuju tempat kami menunggu.
Dari sms dan chat kami tahu Andi yang terbang bersama Lion delay karena cuaca buruk, Sukma mendarat darurat di Pekanbaru karena cuaca juga. Mega dan Elvy sudah menuju Padang dari Jambi, karena mereka memilih mendarat di Jambi. Dayat adalah pemuda dari Padang yang banyak mambantu kami di sana. Dia baru akan datang jam 8 malam, sementara waktu itu jam 7. Kami berdua memutuskan menunggu di Lapau Coffee, memesan hot cocholate(padahal Cuma Milo) yang ternyata seharga @25K, well, mungkin harga duduk di bangkunya yang mahal.
Sampai jam 11 malam baru semua teman berkumpul, kami memperbicangkan segala komplain om Benny, yang jadi pusat pembicaraan dan membuat kesan kami ke Beliau menjadi negatif. Pada saat itu terpikir untuk tidak perlu mengajak om Benny, dan memang kami tidak melihat om Benny dari tempatnya menunggu. Lucu juga, kami akan bepergian dengan beliau hingga 4 malam, tapi kami tidak saling menyapa pada waktu itu.
Akhirnya kami: aku, Lina, Sukma, Andi, Dayat, adiknya dan teman adiknya yang akan menyupiri kami dari bandara ke Kersik Tuo berangkat. Betapa sempitnya berkendara menggunakan avansa untuk 7 orang di tmabah bawaan kami tas yang besar-besar. Di dalam kepala sudah terbayang komplain om Benny L.
Perjalanan kami menuju Kersik Tuo tertunda sebentar untuk makan, karena kami semua memang kelaparan. Di sebuah warung ‘ayam lepas’ kami menyantap hidangan dengan cepat, rasanya aku pikir gak jauh berbeda dengan yang ada di Jawa, dan harganya juga hampir sama.
Tim : Dayat, Sukma, Mega, aku, Cinta, Elvy, Om Benny, dan Andi yang ambil gambar

Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan yang kami perkirakan selama 6 jam, dan memang 6 jam kami sampai di Kersik Tuo. Sepanjang perjalanan hujan masih terus turun dan deg degan juga karena mobil ini seperti jet coaster yang mengiris daerah lereng pegunungan dengan jalan yang berbelok-belok seperti leter W. kami hanya sekali rehat untuk buang air, dan itu membuat kami sampai di Homestay Paiman tepat waktu.

Homestay Paiman

Jam 6 kurang kami tiba di Homestay Paiman, tidak banyak tamu di sana, kecuali mas Rudi, seorang pendaki solo yang sebenarnya sempat nongkrong bareng di Café bandara tadi malam. Kami disambut ramah oleh ibu dan tidak lama the panas terhidang. Kami segera melakukan MCK dan bergegas sholat subuh. Kami masih menunggu Mega yang menggunakan angkutan dari Jambi, sekedar informasi, perjalanan dari Jambi ke Kersik Tuo adalah sekitar 12 jam. Tidak sampai satu jam Mega dan Elvy datang, kami saling bersalaman, dan yang paling berkesan adalah salaman Mega dan om Benny yang sempat bertengkar dengan sms.
Selanjutnya kami melakukan packing ulang, karena ternyata kami menggunakan 2 porter yang kami jadikan guide sekaligus. Baru kali ini aku pakai porter, dan alhamdulillah aku Cuma bawa satu botol air dan tidak bawa tenda. 
Ritual tunjuk puncak 
Sebelum memulai perjalanan kami sarapan dengan hidangan hangat khas pondok Paiman, setelah itu kami masing-masing membawa satu bungkus nasi untuk makan siang.


Ritual "I'll be there"
Pondok Paiman adalah homestay yang paling terkenal di kalangan pendaki Kerinci, letaknya Cuma sepuluh menit dari gerbang pendakian menggunakan angkutan. Setelah selesai repacking dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke gerbang pendakian jam 9 pagi itu. Hamparan kebun teh terbesar di Asia Tenggara sangat indah pagi itu, cukup menghibur untuk menambah semangat kami naik ke puncak volcano tertinggi di Indonesia.
Kami memulai perjalanan dengan berdoa agar kami tidak menemui banyak hambatan dan selamat sampai di tujuan.  
rombongan pertama, tas kami yang besar-besar
rombongan kedua

Gerbang pendakian

Narsis dulu

Perjalanan selanjutnya adalah ke pintu rimba, batas hutan untuk memulai ke jalur pendakian.

Pintu Rimba, batas hutan


Ke Pos 1

Perjalanan ke pos satu tidak memakan waktu lama, sekitar setengah jam kami menikmati perjalanan di bawah rindangnya hutan hujan tropis warisan kekayaan alam Indonesia ini. Sepanjang jalan kami adalah jalur yang becek, kadang berlumpur agak dalam akibat hujan yang mengguyur daerah TNKS ini. Di pos satu kami istirahat sebentar untuk melemaskan otot-otot kami sejenak. Perjalanan ke sini masih landai belum ada tanjakan yang curam.

Istirahat dan narsis dulu

Ke Pos 2

Perjalanan dilanjutkan ke pos 2, jalur masih sama-sama banyak lumpur dan akar. Beberapa trek mengikuti jalur air yang kadang agak dalam dan ini lumayan untuk pemanasan ke atas. Pos 2 kami lampaui, istirahat sejenak dan melanjutkan ke pos tiga. Pohon-pohon besar dan diselimuti lumut menjadi pemandangan yang sering kami lewati.


Di pos dua ini ada sumber air yang lumayan banyak dan bersih. Air sungai yang belum ada sampah di sana, turun sekitar 30 meter dari pos 2.

Ke Pos 3

Berjalan sebentar meninggalkan pos 2 hujan turun kecil-kecil, tapi makin lama makin besar dan terpaksa aku pakai mantel hujan Indomaret. Sayang celana yang masih bersih, aku lepas dan selanjutnya Cuma mengenakan celana sepeda. Ternyata lebih nyaman dan bebas bergerak, walaupun dingin, untungnya kami terus bergerak sehingga dinginnya tidak terasa.
hiking dengan celana pendek tanpa lotion, akhirnya aku gatal-gatal di kaki seminggu lamanya

Di sini terdengar uwa yang saling bersahut-sahutan mengingatkan aku lagi, bahwa di sini adalah rimba yang masih banyak binatang liar. Cinta agak takut mendengar suara-suara ini, kalau dia takut akunya senang juga, jadi aku pegang tangan dia menenangkan. Seperti di Slamet, perjalanan sepanjang pendakian ini pandanganku tidak lepas dari Cinta, aku akan menjaganya terus. Perjalanan dari pos 2 ke pos tiga agak lama, sekitar satu jam.
di Pos 3 kami masih kehujanan


Akhirnya sekitar setengah satu kami sampai juga di pos 3, di sana ada shelter yang bisa digunakan berteduh dari hujan. Shelter agak penuh karena ada sekitar 30 orang di sana termasuk kami. Kami istirahat agak lama di sana untuk makan siang membuka bekal makanan dari pondok Paiman tadi. Makan nasi bungkus dingin dalam keadaan lelah dan lapar memang nikmat. Walaupun bungkusan itu besar, tetap saja habis.

Pos 3 ke Shelter 1

Setelah lepas pos 3 adalah trek sesungguhnya, karena tidak ada bonus sama sekali. Kami harus melewati jalur yang berlumpur dan juga selalu menanjak. Aku sendiri tidak suka jalur air yang sempit, membuat perjalanan kami agak lama. Sering kali kami memanjat akar-akar karena terlalu tinggi untuk langsung dipijak.
Menjelang Shelter 1 hujan sudah mulai berhenti, di sana kami istirahat sejenak. Kami merapikan mantel kembali ke carrier supaya tidak menghambat perjalanan kami. Perjalanan ke Shelter 1 kira-kira 1 jam dari pos 3.
Add caption


Ke Shelter 2

Perjalanan dilanjutkan ke Shelter 2, perjalanan ini adalah yang terpanjang dan terberat dari seluruh perjalanan yang sudah kami lalui tadi. Kami mulai terpisah, Andi dan Dayat serta seorang Porter ada di depan. Selanjutnya om Benny sudah berjalan agak jauh di atas kami. Saya, Cinta, dan Elvy menyusul. Sedangkan Mega, Sukma, dan seorang Porter masih istirahat di Shelter 1.





Sepanjang perjalanan menuju Shelter 2 ini kami selalu bertiga dengan ELvy. Perjalanan terus menanjak, menggapai akar, melompati akar yang agak tinggi, masuk ke dalam semak-semak yang memayungi jalur adalah menu trek kali ini. Aku masih bisa melihat pendaki tua itu, om Benny, yang berjalan terus dengan langkahnya yang stabil dan aku ikuti terus.
Pada suatu tempat yang agak datar aku lihat om Benny dan beberapa pendaki sedang istirahat, kami pun ikut istirahat. Kami istirahat sebentar sambil makan oreo yang dibawa om Benny, aku tawarkan sambil bercanda, “ini bikin berat aja, gak mau dimakan om?” Sepertinya dia gak mau oreonya dikeluarkan di situ, benar aja, pas di tenda dia menggerutu kalau aku tawar-tawarkan biskuit-biskuit itu di sana, jadi habis oooh. Dalam hatiku, kalau yang bagusan dikit sih aku bawa terus om, Cuma oreo aja, gak level gua.
Selanjutnya kami berjalan bersama om Benny dan rombongan tetangga yang tadi istirahat besama, malah kami bertiga jadi menyusul mereka. Terus kami menapaki jalur yang menanjak bertiga, sesekali kami istirahat, aku perhatikan wajah Elvy agak pucat kelelahan. Di situ terungkap, kalau ternyata ini adalah pendakian pertamanya. Wow anak ini, pendakian pertamanya malah gunung api tertinggi di Indonesia ckckckck.

Ada yang Aneh menjelang Shelter 2?

Shelter 2 tinggal 50 meter lagi tapi hari mulai gelap, perjalanan adalah jalur air yang lumayan cekung menjadi parit-parit alami. Aku benci jalan yang sempit seperti ini, karena itu kalau sisinya bisa aku lewati, aku lebih suka melalui sisi-sisi parit walaupun agak mengangkang.
Cinta berjalan di depanku, Elvy menyusul di belakangku. Cinta minta aku jalan di depan sementara, dan kembali lagi dia berjalan di depan. Belakangan dia mengaku kalau di situ dia melihat seseorang, dan itu adalah ketika aku berjalan di depannya. Sampai tempat tersebut orang itu tidak ada, dan dia minta jalan di depan lagi. Tapi ketika lihat ke belakang, dia bilang orang itu (perempuan berambut panjang) jalan mengikuti di sebelah kananku terus sampai ke Shelter 2. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu mengerti hal-hal seperti ini.
Kami sampai di Shelter 2, sudah ada dua tenda berdiri, Dayat, Andi, dan seorang Porter. Aku bantu-bantu mendirikan tenda ketiga. Dingin sekali Shelter 2 saat itu, angin berhembus sangat kencang, untungnya kami memang berada di bekas bangunan Shelter yang terlindung tebing dan pohon-pohon di depannya.

Mondok di Shelter 2

Kami memutuskan untuk bertenda di Shelter 2, karena Shelter 3 terlalu terbuka, dan pasti banyak angin yang berbahaya untuk bertenda. Selain itu hari sudah malam bila harus diteruskan ke Shleter 3.
Di tenda ini kami terbagi menjadi 4, 4, 2. Empat, empat untuk peserta dan dua untuk porter. Jumlah laki-laki 5 dan perempuan 3, aku bilang aku di tenda perempuan aja, biar bareng Cinta hehehe. Lagi pula aku agak khawatir kalau tidur bersama om Benny, karena aksen bicaranya menurutku agak seperti tukang salon. Andi yang sudah stay di tenda aku ‘usir’ untuk pidah ke tenda sebelah, dan akibat rasa pengertiannya yang dalam aku jadi setenda sama Cinta.


Andi yang baik terus memasakkan kami apapun yang diminta. Sementara penghuni yang lain sudah enggan berada di luar karena dingin, aku jadi gak enak terus menemani Andi yang kebetulan cuma kami peserta yang sama-sama merokok. Andi yang baik sudah masak apa saja, masih dikomplain om, katanya gak masak apa-apa, ckckck repect buat Andi, dia sadar udah meluncur meninggalkan kami dan istirahat lebih lama, makanya dia rela memasakkan apa saja buat kami.
Sayangnya bahan bakar yang kami bawa sudah hampir habis, maklum kami hanya membawa Cuma bawa sebotol gas dan 600l spirtus. Sebelum berangkat Mega memang sudah bertanya, apakah cukup membawa bahan bakarnya, aku bilang cukup, aku ingat dalam pendakian lain bahan bakarku selalu sisa, dan masih bisa buat ngopi berkali-kali di kontrakan. Ternyata di sini tidak cukup, maaf ya Mega, that’s my fault.
Setelah semuanya cukup makan, kami pun berangkat tidur. Dingin sekali Shelter 2 malam itu, aku masih mendengar bunyi angin menerpa fly sheet di sekitar kami yang dihuni empat kelompok. Tetangga kami turis Prancis yang tidak berhenti ngobrol mengganggu tidurku. Akhirnya akupun tidak bisa tidur dan mengganggu Cinta yang biasanya cepat tidur. Karena lelah kami akhirnya tertidur.
“Jam 3 woi bangun-bangun!” suara om Benny membangunkan kami, beliau sudah siap-siap melakukan summit. Tapi aku juga mendengar hujan yang jatuh menerpa tenda, aku malas bangun masih ngantuk, belum lagi hujan pasti membuat perjalanan tidak nyaman. Semua peserta tidur lagi. Jam 5 kami akhirnya bangun, siap-siap, menyiapkan peralatan narsis, membuat sarapan, dan tepat jam 6 kami melakukan summit attack.  

SUMMIT ATTACK

Perjalanan menuju Summit dimulai. Pagi itu masih agak gelap, kami naik melewati jalan air yang membentuk parit-parit alami agak dalam. Di kanan kiri adalah khas tumbuhan perdu yang sangat rapat menyembunyikan jalur itu, maka di sebut jalur ini adalah jalur tikus. Jalur ini terus serupa dan menanjak hingga Shelter 3.
Melelahkan sekali jalur yang kami lalui dengan otot yang masih kaku baru bangun tidur, tapi anehnya justru di Kerinci ini stamina ku baik-baik saja. Mungkin karena aku tidak membawa beban yang seperti biasanya, atau mungkin karena selalu bergandengan dengan Cinta.



Menjelang Shelter 3 terpaan angin semakin keras, aku berharap cuaca mendukung perjalanan kami ini. Kali ini kami berjalan bertiga dengan Elvy, sementara Mega dan Lihun (porter) jauh di belakang. Setelah Shelter 3 aku menjumpai patok yang aku pikir tugu Yudha, ternyata bukan. Tugu Yudha masih satu jam lagi kata Porter, oh my God.
Menuju tugu Yudha angin sangat-sangat keras membuat aku sempat terhuyung-huyung. Cinta dan Elvy agak ngeri melewati jalur ini, sebenarnya aku juga J . Aku berjalan di depan setengah merangkak, lalu setiap ada cekungan berlindung dari angin. Ada sebuah batu besar tiga jalur tanjakan lagi ke Tugu Yudha kami berlindung, angin benar-benar membuat kami ingat kami adalah hanya serpihan debu bagi Tuhan. Aku merambat pelan-pelan sampai ke batu selanjutnya untuk berlindung, aku lihat ke belakang Cinta dan Elvy tidak mengikuti, aku kasih aba-aba dan ajak mereka untuk berjalan ketika angin agak pelan, tapi ditunggu-tunggu mereka masih takut juga. Akhirnya aku kembali lagi ke batu tempat mereka berlindung, dan mengajak berjalan saling berpegangan tangan. Aku ajak mereka berjalan setengah merangkak dan jangan pernah melepaskan pegangan.
Setiap angin bertambah kencang, saat itu juga nyali kami juga terbang entah ke mana. Butuh mental yang kuat untuk berjalan di jalur ini. Aku bilang ke mereka, kita harus ke parit itu untuk berlindung, dan akhirnya kami sampai di parit di depan kami.
Ada dua pendaki yang turun, kami kenali yang perempuan bernama Meymey, aku pikir mereka sudah dari puncak dan akan turun, ternyata si pria drop dan hampir hypo. Pantas saja mereka turun tertatih-tatih dan si pria diselubungi sleeping bag. Meymey minta tolong aku untuk memeluk temannya itu, karena hampir hypo. Aku lihat si pria ini hanya mengenakan kaus dan celana pendek untuk muncak, hmm sombong juga yaa. Aku peluk dan panggil-panggil cowo ini supaya tidak tertidur, dan minta Meymey ‘memandikannya’ dengan minyak kayu putih yang dibawa Cinta. Lama juga kami di sana, sampai dua rekan mereka turun menghampiri untuk membawa dia kembali  ke tenda. Aku gak sempat tahu nama si cowo, lagian untuk nolong orang gak perlu juga pake tanya-tanya. Katanya si cowo beneran hypo tapi sudah sampai tenda, dan masih tertolong.
Perjalanan diteruskan dengan belasan kali rehat. Sepanjang jalur adalah batu dan pasir yang lumayan stabil. Hujan mulai turun rintik-rintik dan angin tidak berhenti menghempas kami dengan keras. Di sinilah sebenarnya klimaks kisah perjalanan kami menuju puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia. Mega dan om Benny masih berjuang sekitar 30 meter di bawah kami, Cinta untuk pertama kalinya bilang “mas aku give up deh, kamu terusin aja sendiri”. Aku kaget tapi juga mengerti, tantangannya memang berat, di atas kami tidak nampak rombongan pendaki yang turun, begitu juga yang naik. Hujan mulai turun, dan perjalanan belum lagi sampai tugu Yudha. Dalam hati aku juga bilang, kalau gak ada kamu gak semangat naiknya, stamina masih ada, Cuma angin ini dahsyat banget. Aku lupa apa yang aku bilang ke Cinta, kalau gak salah “you’ll never give up, you can make it, you can make it, ayoo pelan-pelan aja”.
Akhirnya Cinta mau meneruskan perjalanan dan ternyata itu menumbuhkan semangat pendaki lain, yaitu Elvy yang mendengar pembicaraan kami dan sempat mau give up juga. Alhamdulillah semangat Cinta, the tough girl, to her I proud of, bikin Elvy juga semangat.
Menjelang tugu Yudha kami dihampiri Sukma dan Andi, dan memberikan bendera AWASPALA ke aku. Katanya ini dari temannya mas, masih di atas. Well saya senang ternyata Barkah sampai di puncak sesuai rencana. Hal ini belum saya ceritakan.

Barkah

Barkah juga anggota AWASPALA yang mendaki Kerinci, hanya saja dia bersama tim lain. Saya berdua Lina sudah punya rencana ke Kerinci, sesaat setelah turun dari gunung Slamet habis lebaran kemarin. Jadi sebelumnya kami tidak memberi tahu Barkah, bahwa kami akan ke Kerinci, bahkan pada gathering AWASPASLA di Ancol setelah pendakian bersama ke Cikurai.

Setelah turun dari Cikurai dia pengumuman akan pergi ke Kerinci dan meminta bendera AWASPALA untuk dikibarkan di Kerinci. Aku sebenarnya ingin membawa sendiri bendera tersebut, tapi dia berkeras. Aku jadi kepo mengenai itinerary dia ke Kerinci, ternyata dia lebih cepat sehari. Akhirnya aku ngaku juga mau ke Kerinci, dan membuat skenario tancap dan jemput bendera. Karena dia yang datang duluan, maka dia harus menancapkan bendera di puncak atau minimal di Shelter 3, kalau dia tidak sampai puncak. Begitulah cerita keberadaan Barkah di jalur pendakian kami.

Setelah Sukma memberi bendera itu, kami istirahat sebentar untuk membongkar bawaan Andi, roti tawar dan susu krim. Masih mending bawaanku roti sobek dan beberapa coklat, belum lagi nata de coco. Kami istirahat dulu di situ, eh dari kejauhan ada yang memanggil, “Mbak Linaaa!!” Barkah ternyata di sana dengan Shaun the Sheep nya menuju ke kami. “Mas mas itu Barkah”, kata Cinta. Well kami akhirnya bertemu di sini, tapi dia sudah sampai puncak. Itu menambah semangat kami lagi.
Om Benny dan Mega bergabung bersama kami, istirahat di sini sementara untuk makan roti tadi. Walaupun ada sebel sama om Benny, aku respect akan semangatnya. Well done om Benny, see you soon.

Tugu Yudha

Setengah jam kemudian kami mencapai tugu Yudha, ada penasaran juga di dalam hati, tugunya punya nama sama denganku. Aku mau tahu apa sih tugu Yudha, well tugu Yudha itu nisan atas nama Sentika yudha yang wafat di sini. Aku tidak tertarik lagi, bahkan untuk foto-foto di dekatnya bikin mood jadi turun. Tapi dari tugu Yudha ini aku bisa melihat puncak, yang sedikit-sedikit menghilang ditutup kabut, ini membuat semangat kami semakin membara.


Kami lanjutkan perjalanan kami, dan ternyata di atas baru kita bisa melihat lagi ada rombongan pendaki lain yang sedang naik. Rombongan pendaki itu bahkan hampir kami susul, dan kami lebih dulu sampai bendera. Aku bilang, “Cin itu benderanya di sana, kita udah sampe, itu benderanya.”
foto bareng Cinta di puncak tertinggi

Keren kan?

kika: Mega Barutu, Lihun, Lina, aku Elvy, Om Benny

Awaspala ada di puncak-puncak tertinggi

Kami pun sampai di puncak Kerinci, menyusul pendaki-pendaki lain. Aku lari ke arah bendera dan memang itulah puncaknya, aku kepalkan kedua tangan kuangkat ke atas. “yeah, puncak cin.” Aku hampiri Cinta, aku peluk aku cium keningnya, “akhirnya kamu sampai puncak cin.”
Selanjutnya adalah sesi narsis bersama tulisan 3805 mdpl yang jadi rebutan. Angin tetap berhembus kencang, ditambah bau belerang mengganggu kami, tapi kami sedang senang, kami tidak menghiraukan itu semua. Sepuluh menit kenudian om Benny datang sambil mengangkat sepasang trekking polenya tinggi-tinggi di susul Mega.
Kami semua berhasil mencapai puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia. Well done Cinta, well done Elvy for your first summit, well done om Benny, you’ve reached the summit at your 64. Well done Mega, you’re success to bring us there.
Walaupun menurut rencana kita juga akan ke danau Gunung Tujuh, tapi cuaca bukan kita yang mengatur, biarkan danau Gunung Tujuh tetap menjadi next trip kita sekaligus reuni pendaki-pendaki Kerinci yang tangguh ini.

Print Friendly and PDF

Wednesday, October 23, 2013

Slamet, Puncak Ikatan :Sebuah Catatan Perjalanan



Galau semua teman punya acara nanjak abis lebaran, sementara saya bakal bengong di rumah. Ada tawaran nanjak ke Rinjani atau Semeru lagi, saya mau yang lain.
Teman dari Jambu Kupi punya acara sendiri-sendiri gak ngajak-ngajak, akhirnya saya tunggu undangan yang lain aja. Ternyata ada BC dari Anja, teman nanjak Rinjani tahun 2012, ngajak nanjak ke gn. Slamet. Sayang saya gak punya teman dari AWASPALA yang ikut, saya bilang ke Anja nanti deh pikir-pikir dulu.
Sementara saya lagi kasmaran sama teman nanjak waktu ke Semeru Juni 2013 lalu, saya kasih semangat dia yang mau ke Rinjani. Sepertinya dia udah siap semuanya untuk mencapai puncak Rinjani. Tapi tiga pekan sebelum hari H, dia bilang gagal ke Rinjani karena ada tugas ke pabrik yang di Pontianak.
Saya jadi ingat tawaran ke Selamet dari Anja, saya langsung tawari dia ke Selamet pendakian bersama GreenForest tgl 16 – 19 Agustus 2013. Dia langsung OK, karena sesuai jadwalnya. Mulailah saya menghubungi Anja tanya itinerary nya dan harga iuran karena tertera Rp. 300.000 untuk yang dari Bandung dengan fasilitas transport PP. Akhirnya saya dapat harga dua ratus ribu, tapi berangkat dari Jakarta. Saya gak pikir panjang saya pikir saya dapat transport dari purwokerto ke meeting point, ternyata KAGGGGAAAK.

Saya udah keburu senang karena pergi berdua Cinta, saya tidak lagi cerewet tanya ke Anja, kalo saya nanti dapat apa aja. Saya percaya aja ke Anja, karena dari cerita-cerita pengalaman dia yang udah naik ke sana-sini dan beberapa kali bikin even bersama http://ngesottrip.com/ . Saya baru sadar harus tanya ini itu waktu Cinta tanya di pertemuan di Bandung perayaan Ultahnya anak AWASPALA lain Yogi and Casper.
Saya sudah terlanjur transfer 400.000 untuk dua orang sementara Cinta membelikan tiket KA pulang dari Purwokerto yang harganya 200 lebih, Cinta emang baik. Saya tanya terus si Anja soal itinerary nya, dan responnya lama banget. Dari itu saya udah gak berharap banyak dari Anja.

PERSIAPAN


Beda dari pendakian saya sebelumnya, saya bahkan gak mempelajari serius karakteristik gunung Slamet apa lagi peta jalur pendakian. Saya ingin mengandalkan panduan dari kelompok pendakian ini, tapi tidak ada, karena sebenarnya praktis semua kami urus sendiri. Saya hanya mempersiapkan logistik yang tadinya saya mau beli di lokasi meeting point, tapi saya khawatir di sana kami tergesa-gesa mempersiapkan semuanya.
Saya hanya ingat untuk mencetak voucher tiket KA yang sudah saya beli online, karena khawatir nanti harus antri panjang di stasiun Pasar Senen. By the way, kami dapat tiket promo KA Sawunggalih seharga 50.000 dan 75.000, karena mungkin jarang peminat untuk pergi ke daerah pada masa setelah  lebaran itu.
Cinta sudah mempersiapkan carriernya di kantor di daerah Jl. Sudirman dan berencana langsung ke kantor setelah mendarat dari Pontianak.

TRIP DI MULAI


Aku minta ijin untuk titip motor di gedung kantor Cinta, karena berdasarkan pengalaman yang lalu ke stasiun Pasar Senen, saya mengalami masalah kemacetan. Berangkat dari rumah jam setengah lima sore ternyata sampai di gedung kantornya Cinta gak sampai satu jam. Sampai di sana saya ragu-ragu mau masuk ke gedung karena saya bawa tas yang tingginya melebihi kepala saya, takutnya ditanya ini itu. Saya akhirnya memutuskan untuk menunggu di warung rokok agak jauh ke dalam di ujung jalan kantor itu.
Pesan kopi sebentar sambil istirahat di warung rokok yang teduh itu, kebetulan di sana juga banyak orang yang mengaso sambil ngopi. Kopi siap dan baru saya aduk-aduk dikit, di seberang jalan saya lihat sosok yang saya tunggu sambil menarik tas berroda. Saya panggil-panggil tepuk tangan dianya gak liat, ternyata dia kelaparan langsung masuk ke warung nasi di seberang jalan itu. Saya baru tahu, ternyata pegawai kantor yang di ujung jalan sana lebih suka makan di sini.
Setelah repacking di kantor, kami berangkat ke stasiun Pasar Senen dengan Taksi yang mungkin tidak sampai seprapat jam dari sana, suasana jalan di Jakarta waktu itu sangat ramah dan lancar.


BARENG TAPI MISAH


Saya dan Cinta sama-sama ke Purwokerto dengan kereta yang sama, tapi pisah tempat duduk jauh sejauh 3 gerbong. Ngetrip bareng orang yang dikangen-kangen memang enak, tapi BT kalau harus pisah gerbong. Singkat cerita, walaupun sebenarnya lama, sampailah kami di Stasiun Purwokerto jam 2 malam tgl 17 Agustus 2013.
Berkali-kali menghubungi Anja untuk kepastian di mana kami dijemput, ternyata kami harus ke pertigaan Serayu untuk bergabung ke Bambangan gerbang pendakian. Saya tahu Cinta kecewa, tapi saya rasa gak enak sama Anja karena teman, ke sana gak enak ke sini gak enak.
Akhirnya kami sepakat untuk mencari angkutan langsung, tapi sebelumnya cari-cari teman senasib yang mau nanjak Selamet. Mudah sekali mencari teman sharing cost, karena ciri-ciri nya bisa dilihat dari bawaan dan gaya pakaian mereka. Ada empat pendaki lain yang juga mau ke Bambangan yang akhirnya jadi teman sharing cost angkutan seharga 350.000 sampai Bambangan.
Perjalanan sunyi mendebarkan
Perjalanan ke arah Barat Daya Purwokerto pada dini hari itu sangat sunyi, maklum ini bukan kota besar. Setelah setengah jam perjalanan, teman-teman kembali meneruskan tidur, sementara saya tidak bisa tidur memperhatikan arah perjalanan. Iri saya sama Cinta yang gampang tidur, padahal di kereta tadi saya sempatkan ke tempat duduknya, dia asik meringkuk di kursi terlelap, mungkin karena kecapean kunjungan kerja nya.
Melewati pertigaan Serayu perjalanan diteruskan sampai ke daerah perbukitan yang terus menanjak dan diselimuti kabut tebal. Mobil yang kami tumpangi ternyata tidak dilengkapi lampu kabut, sehingga kami harus berjalan pelan, karena sang supir tidak bisa melihat jauh melebihi 5 Meter. Supir justru berjalan di sebelah kanan, kerena di sana dia bisa melihat pinggir jalan sambil membuka jendela mobil. Kecepatan kami mungkin hanya 5KM/jam waktu itu.
Setelah hampir tiga jam perjalanan dan bertanya beberapa kali pada penduduk setempat, akhirnya kami sampai di pondok pemuda Bambangan. Kami di sambut kabut dan gerimis, saya tidak bisa menghubungi Anja. Di Pondok itu banyak pendaki yang tidur, tapi pintu dikunci dari dalam, sementara kami di luar. Karena dingin kami ingin masuk dan mengetuk pintu beberapa kali, sayangnya mereka tidur sangat nyenyak hingga tidak menyadari banyak pendaki di luar pondok.
Setengah jam kemudian datang rombongan pendaki lain, di antaranya ada turis dari Jepang. Salah satu dari rombongan pendaki itu berinisiatif membangunkan pendaki yang tertidur di dalam. Pintu pondok akhirnya terbuka, lumayan kami bisa masuk dan berlindung dari angin. Sambil menunggu kepastian Anja, kami melakukan repacking. Kami menunggu sampai hampir satu jam, tidak ada tanda-tanda rombongan Anja. Kebetulan malah saya ketemu Anja di wc belakang gedung waktu saya ingin sikat gigi. Dia bilang rombongan sudah sampai tapi di bawah dekat kepala desa. Saya bilang saya tunggu di sini aja, toh ke sana juga gak dapet apa-apa.
Kami berdua akhirnya memilih sarapan di warung bu Yuli di depan pondok, lumayan Cinta bisa pinjem wc nya juga. Nasi sayur kacang panjang dan tempe ditambah dadar telor dengan rasa yang biasa saja terpaksa kami  lahap, karena itu satu-satunya warung yang ada. Segelas teh manis hangat mengobati rasa dingin pagi itu. Selesai makan, sebenarnya sudah hampir jam 8 pagi, tapi tidak ada tanda-tanda kelompok Anja, padahal menurut itinerary jam 7 sudah harus start. Kami yang terlanjur kecewa sudah masa bodoh dengan jadwal. Malah karena menunggu lama, kami keluarkan lagi kompor untuk masak air di dalam pondok. Baru saja api kompor spirtus jadi, datang rombongan Anja, kami tidak jadi masak air, dan segera repacking.
Jam 9 pagi kami mulai meninggalkan gerbang Bambangan yang masih diselimuti kabut tebal dan gerimis. Kami melewati perkebunan bawang merah milik warga. Sepanjang perjalanan adalah perkebunan bawang dan kacang tanah sampai ke lapangan yang luas, setelah itu perjalanan menanjak tanpa bonus. Pos satu kami raih sekitar jam 11 lebih. Di pos satu ada pedagang makanan yang mejual lontong/ ketupat dan tempe mendoan yang digoreng di situ. Saya sempatkan membeli lontong dan mendoan untuk bekal makan siang nanti, sementara saya dan Cinta istirahat dan makan kurma sambil narsis-narsis dulu. Pemandangan kota di bawah melalui pos satu siang itu sangat indah, kabut sudah hilang sehingga pemandangan ke bawah terlihat jelas.


KE POS 2


Perjalanan ke Pos 2 melewati jalur yang berdebu karena waktu itu terik sekali sehingga tanah jalur pendakian jadi berdebu, walaupun sepanjang jalur banyak pohon-pohon yang lumayan melindungi kami. perjalanan pos 1 ke pos 2 juga perjalanan menanjak tanpa bonus, sesekali kami harus menunduk atau melompati akar pohon. Setelah satu jam kami sampai di pos 2.  

KE POS 3


Berjalan menanjak berdebu dengan beban berat sangat menguras tenaga, kami sering kali istirahat. Beban paling berat adalah air yang harus kami bawa, karena di atas tidak ada sumber air menurut info pendaki yang turun yang kami temui di Bambangan. Untung saja Cinta membawa MP3 player yang dihidupkan sepanjang perjalanan, sehingga cukup menghibur kami. Apalagi ada lagu kenangan kami di sana ‘footprints in the sand’ milik Leona Lewis. Pos 3 juga kami raih sekitar satu jam.

POS 4 dan POS 5

Pos 4 dan pos 5 kami raih masing-masing setengah jam, tapi tetap saja perjalanan menanjak tanpa bonus. Kami sering kali berpapasan dengan pendaki yang turun, sehingga banyak debu mengganggu perjalanan kami. Di pos 4 maupun pos lima banyak pendaki yang membuka tenda, dan kelompok kami terhenti di pos 5. Lahan berkemah sudah penuh karena banyak sekali pendaki yang berkemah, sedangkan ruangan pos sudah ada yang menempati. Mencari ke sana ke mari, akhirnya kami membuka tenda di depan bangunan pos 5 yang sebenarnya miring.


BERTENDA DI POS 5


Menjelang maghrib kami akhirnya selesai membangun tenda di Pos 5 ini. Kami mendapatkan lahan di depan pos dengan alas yang miring, sudah terbayang nanti malam tidur pasti merosot terus.
Angin datang dari hadapan tenda dan sangat kencang, senja itu saya sudah menggigil dan cepat-cepat mengenakan sarung tangan. Sambil Cinta beres-beres dan ganti baju di dalam tenda saya nyalakan kompor gas portable saya. Maksud hati masak air ditunggu lama ternyata api mati dan air yang ditunggu udah pasti gak kunjung mendidih. Ternyata kompor ini gak cocok dipakai di sini, semprotan gas nya macet mungkin karena beku, sedangkan angin yang berhembus juga membuat api selalu mati, maklum saya masak di luar tenda tanpa flysheeet tambahan.
Akhirnya kami putuskan masak di dalam pakai kompor spirtus, lumayan juga panasnya untuk menghangatkan tenda, untung Cinta bawa kompor spirtus. Hati-hati kami masak di dalam tenda akhirnya menu wajib Cinta, yaitu bubur instan selesai. Masak air lagi untuk menyeduh kopi dan energen. Cukup itu saja nutrisi kami menjelang tidur, lumayan untuk mengganjal perut yang lapar. Kami pun berangkat tidur cepat-cepat untuk Summit attack nanti dini hari. Tapi seperti biasa saya gak bisa langsung tidur, terus ngajak ngobrol Cinta, maksudnya mau mencairkan suasana, malah jadi ngobrol serius(masalah masa depan) yang bikin saya gak bisa tidur.
Akhirnya saya lihat Cinta udah bisa tidur, sementara saya cuma bolak balikin badan seperti lagi goreng pisang, gak bisa tidur, dingin dan pasti merosot terus.

KOMPOR MELEDUK


Dorrr kaget saya ternyata sempat tertidur juga, dan masih bingung ada apa, tenda gelap sementara ada pemandangan terang benderang dari luar tenda Cuma berjarak sekitar 30Cm dari bagian kepala Cinta. Saya langsung duduk, cari head lamp susah banget sementara, Cinta udah menabrak saya ketakutan, karena di luar suara perempuan berteriak-teriak sambil menyebut nama Allah berulang-ulang. Aku masih bingung, tapi itu pertama kalinya Cinta meluk saya, sayang dalam keadaan ketakutan, sayanya juga kebingungan.
Saya langsung menduga ada yang kesurupan, maklum di gunung. Tapi api di luar yang membuat terang membuat penasaran, lama cari headlamp gak ketemu, saya langsung buka resleting pintu tenda dan tengok ke luar. Ternyata bukan kesurupan, ada seorang pendaki perempuan yang ingin masak dan menyalakan kompor gas tapi kompornya meledak. Si korban masih histeris, tapi sudah dikerubungi teman-teman tendanya dan sudah diberi pertolongan. Saya tidak bisa lihat lagi, karena makin banyak yang mengerubung. Saya kembali masuk ke tenda mau cari headlamp dan  menenangkan Cinta, siapa tahu dapet pelukan lagi, eh Kagakk ehhehhe.
Nguping dari tenda, ternyata si korban terbakar kakinya parah, karena api menyambar kaus kakinya, jadi lama juga menempel di kakinya, itu yang membuat dia histeris dan lukan bakarnya menyebar. Karena yang bersangkutan sudah diurus oleh rekan-rekannya, saya meneruskan tidur sambil melorot lagi.

SUMMIT ATTACK


Badan saya rasanya lemas dan rasa kantuk ditambah udara yang super dingin membuat saya malas menanggapi teman-teman yang membangunkan untuk persiapan Summit. Dari dalam tenda kami mendengar para pendaki sibuk dan saling membangunkan untuk melakukan Summit. Sambil ngulet lagi dan membetulkan sleeping bag, saya tanya ke Cinta, “Cin, mau summit?” “Iya mas ayo”, jawabnya.
Sejujurnya saya males Summit karena BT selama pendakian kami seperti pendakian duo, padahal kami ikut even penmas. Sejak dari Jakarta sampai Bambangan, bahkan mencari lahan tenda, kami mengurus semuanya sendiri, itu yang bikin BT.
Tapi saya sadar, kami kan ke gunung selain untuk menikmati keindahan alamnya, kami juga punya tujuan lain, yaitu puncak dan narsis bawa bendera AWASPALA. Sedangkan saya tidak akan lupa membawa sesuatu, kejutan untuk Cinta yang masih tersembunyi di day pack. Bergegas kami persiapkan makanan dan minuman, serta perlengkapan narsis kami. Kami ternyata dimasukkan ke kelompok kedua, sambil menunggu yang lain siap, kami sempatkan masak mie goreng, nikmatnya makan mie goreng senaesting berdua Cinta.
Sepanjang jalan kami banyak menemui edelweis yang sedang berkembang, begitu indahnya edelweis bisa kami nikmati setelah turun dari puncak. Karena pada saat itu yang edelweis yang kami bisa lihat menjelang batas vegetasi. Matahari mulai menemani kami setelah jalur ini.
Karena kami mulai dari Pos 5, perjalanan muncak lumayan panjang. Kami mulai jam 2 pagi, dan batas vegetasi kami lampaui sudah dalam keadaan terang. Setelah itu tantangan sebenarnya, batu batu tajam yang sangat mudah membuat kami tergelincir. Kami harus hati-hati dan kami bersyukur, cuaca pada saat kami melakukan perjalanan puncak mendukung, tidak ada kabut. Kami berdua setuju, perjalanan muncak Slamet ini adalah termasuk perjalanan yang berat, maungkin karena ini dilakukan pada libur lebaran, sementara kami tidak mempersiapkan fisik dengan baik. Tapi memang medan yang kami lalui saat itu berupa batu-batu dan pasir yang licin, sehingga menguras tenaga.

Puluhan kali kami melakukan break, menjelang jam sepuluh kami bisa melihat para pendaki yang narsis di puncak. Senang sekali dan membuat semangat kami kembali bergelora. Kami lihat ke bawah dan sekeliling, subahanallah pemandangan ke bawah indah sekali, kami berdiri di atas awan. Awan mengelilingi gunung Slamet, sementara kami berdiri di puncaknya.
Puncak gunung Slamet ternyata luas juga, berbentuk mamanjang. Kami langsung narsis-narsis dan membuka makanan favorit kami kalau muncak, nata de coco. Segarnya nata de coco sangat berbeda kalau dimakan di ketinggian 3.428mpdl. saya bawa bendera merah putih sebagai rasa cinta tanah air, kami berfoto bersama bendera yang berkibar-kibar diterpa angin puncak gunung Slamet. Dari sini kami bisa melihat indahnya Sindoro Sumbing.

MAY I be your …


Menjelang puncak sampai selesai foto-foto tadi sebenarnya saya dag dig dug. Di tas saya ada sesuatu, kejutan yang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, kejutan untuk Cinta. Saya mau melamar Cinta di sini, di puncak tertinggi Jawa Tengah, tapi malu mau bilangnya, terus skenarionya juga saya masih gak ada ide. Makin ragu-ragu lagi kalau inget pembicaraan menjelang tidur di tenda dan sebenarnya bikin saya makin susah tidur. Tapi tekad saya untuk melamar Cinta di sini tidak berkurang, dan saya akhirnya minta tolong teman-teman untuk bikin skenario lamaran. Saya minta waktu saya duduk berdua nanti ada ‘pelayan’ yang membawa kejutan ini disaksikan semua teman yang muncak pada waktu itu. Setelah itu saya ajak Cinta foto-foto lagi cari spot yang lain sambil buying time.

Akhirnya ketegangan saya makin jadi, ketika kami berdua ngobrol dan teman-teman semua mengerubungi kami. Satu orang maju ke kami dan membawa kotak kecil berwarna ungu itu. Kotak kecil yang  isinya aku persembahkan untuk Cinta, dan selamanya untuk Cinta. Dia memandang ke saya lama, saya senyum sambil memberi sinyal memandang dia untuk mengirim pesan “I’m sure”.
Saya takut Cinta menolak isi kotak itu, tapi ada teman pendaki cewe yang ikut mengerubungi kami bilang ‘Oh My God, pake-pake pake-pake’ saya jadi agak tenang. Selanjutnya saya kenakan cincin kecil itu di jari manis Cinta, sambil berbisik, “Cin, aku akan tetap melamar kamu seperti normalnya, yaitu di depan bapak kamu, tapi ini anggap jadi khitbah hati aja.” Dalam hati saya berdoa, Cinta jangan tolak saya dan berharap cincin ini dipakai terus. Cincin itu sudah berhasil pas dikenakan dijari manis Cinta, saya dalam hati bilang, “oh my God, aku baru nglamar Cinta di puncak gunung,” terbayang nanti aku bangga cerita ke anak/cucu di mana saya melamar Cinta.

















Misi kibar bendera AWASPALA sukses, misi terselubung saya juga sukses, alhamdulillah. Untuk saya pribadi ini adalah pendakian yang tidak akan saya lupakan, selain melelahkan, di puncaknya saya berikrar dalam hati untuk setia mendampingi Cinta.
Kami pun kembali turun ke pos 5, tenda kami. Dalam perjalanan turun ini kami sudah ekstra hati-hati, tetapi sempat juga saya terjatuh, kaki saya terjepit di sela batu-batu besar itu. Sampai di tenda sudah jam 14.00, beberapa tenda tetangga kami sudah hilang, pos 5 panas dan berdebu, ditambah tiupan angin yang membawa debu itu berputar-putar.

PULANG


Kami berdua memutuskan untuk lekas turun ke Bambangan, karena tidak merasa nyaman bertahan di tenda. Memang kami lapar, tetapi bisa kami tahan untuk dilampiaskan di pos Bambangan. Rekan kami tidak ada yang mau turun bersama kami, akhirnya kami pergi turun berdua dengan maksud mengejar angkutan ke stasiun karena kami harus ke stasiun tepat waktu.
Biasa dari perjalanan turun kami, kecuali kami berdua mengalami robek di celana kami pada bagian bokong terkena akar-akar yang kami lewati dan istimewanya ya saya bisa jalan bareng orang yang dikangen-kangen sambil dengerin lagu-lagu dari MP3 player hehehe. Perjalanan turun ini kami lalui dengan santai saja sambil menikmati keindahan alam hutan tropis gunung Slamet dan waktu pribadi bagi kami( cerita di sini untuk anak/cucu).
Satu persatu pos kami lalui, hingga pos satu di mana kami tahu ada bakul mendoan yang setia menunggu di pos satu. Sampai di sana ternyata tidak ada mendoan hangat, yang ada adalah mendoan yang sudah dingin, lumayan saya mengisi perut, tapi Cinta tidak mau entah mengapa.
Kami melanjutkan perjalanan ke Bambangan menjelang senja, dalam bayangan kami jarak perjalanan tinggal sedikit lagi, tapi ternyata lumayan jauh. Perjalanan turun ke Bambangan adalah tanah berdebu pada jalur pendakian yang curam, dan terasa sangat licin, memaksa kami harus hati hati. Kehati-hatian ini menguras tenaga dan juga wakt tempuh. Menjelang lapangan dekat ladang penduduk, kami mendengar adzan maghrib. Kami putuskan untuk terus berjalan, istirahat sholat di pos Bambangan. Sampai di lapangan kian gelap, kami berhenti sebentar menyiapkan head lamp, di situ saya merasa nyaman sekali dan ingin sekali tidur-tiduran sebentar. Pendaki lain melewati kami dan mengajak agar segera pergi dari situ. Sementara rombongan pendaki lain menahan diri agak di belakang menunggu semua anggotanya, sehingga setelah itu kami berdua berjalan sepi sepanjang tegalan.
Ada keraguan sedikit di hati saya, karena saya tidak memperhatikan perjalanan waktu memulai pendakian ini. Kemarin itu perjalanan berkabut, dan saya tidak ingat jalan kembali, Cuma lapangan dan ladang bawang yang jadi patokan saya.
Semakin gelap dan sepi, sementara kami berjalan hanya berdua di sepanjang jalur itu, tidak ada pendaki lain yang menyusul. Di depan dari kejauhan sekitar 50 meter saya melihat orang berjalan cepat sekali dengan senter yang digoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Agak lega, ada penunjuk jalan, saya ikuti terus, dan kami tidak beristirahat sedikit pun. Anehnya, Cinta tidak melihat orang yang saya maksud.
Saya jadi ingat cerita-cerita aneh di gunung ini, gunung Slamet, katanya banyak kejadian-kajadian aneh yang saya sebenarnya tidak pedulikan. Tapi suasana maghrib itu, ditambah Cinta sedang M juga, membuat saya berpikiran aneh juga, dan perjalanan pulang itu jadi terasa tambah lama.
Lama sekali kami mengikuti orang yang saya pikir penduduk setempat. Jadi ingat ayeg-ayeg di Semeru lalu, perjalanan pulang ini kenapa lama berakhirnya?
Di perjalanan itu ada yang melegakan, kami berpapasan dua rombongan pendaki yang baru naik, lega ternyata kami tidak tersesat. Sampai di ujung sawah, kami bingung kok ada jembatan kecil untuk menyeberang pematang. Seingat saya kemarin tidak lewat jembatan. Ada juga jalan ke kiri, jadi bingung. Untung ada rumah penduduk, kami kulonuwun di sana bertanya arah pos. ternyata kami memang harus lewat jembatan itu, dan tidak lebih 30 meter adalah pos Pemuda, jadi malu nih akibat nervos takut tersesat.


PENDAKI TUA YANG BAIK HATI


Sampai di Bambangan kami beristirahat di warung mbak Yuli yang tepat berada di depan pos Pemuda. Lumayan bisa makan nasi normal dengan lauknya yang sudah dingin. Di sini kami juga bisa bersih-bersih badan.
Saya bertanya-tanya tentang angkutan yang berangkat ke Purwokerto, atau paling tidak ke pertigaan Serayu. Ternyata tidak ada angkutan tetap yang ke sana, kecuali truk sayur yang biasanya berangkat pagi-pagi sekali, tapi itu juga tidak pasti.
Beruntung kami di sini juga bersama pendaki yang turun bertemu di pos 2, saat dia minta salonpas tadi. Ternyata si mas ini menunggu bos nya yang juga sedang turun. Dia menawarkan kami untuk ikut saja dengan mereka sampai Purwokerto. Waktu itu sudah jam 10 malam, kami sudah selesai makan dan bersih-bersih. Dia juga heran kenapa sang bos belum sampai juga. Akhirnya dari situ komunikasi kami cair juga, saya menemani dia ngobrol mengenai pendakian, dan juga kejadian-kejadian aneh di gunung Slamet. Termasuk hal-hal ganjil tempat saya tadi istirahat agak lama dekat lapangan. Ternyata di situ termasuk ‘pasarnya’, pantes saya disuruh cepat pergi waktu istirahat tadi. Untung cerita-cerita itu saya dapat setelah saya turun. Sementara saya ngobrol, Cinta bisa tidur di dalam kamar tamunya bu Yuli.
Tengah malam kira-kira, baru rombongan sang bos sampai, sementara penjemput sudah hampir satu jam menunggu bersama kami. Dari ngobrol-ngobrol ini, saya baru tahu, ternyata sang bos ini maniak gunung, usianya sekitar 60an tahun. kalau sang bos ngajak naik, semua anak buahnya gratis tinggal bawa badan, dan mereka sudah pernah ke berbagai gunung bersama.
Ngopi ngeteh sebentar, kami langsung berangkat ke Purwokerto menggunakan pick up terbuka. Saya sempat tertidur duduk di bak belakang, berisik suara teman-teman ternyata sudah sampai di toko/rumah bos. Saya tidak tahu ini daerah mana, tapi malah kami selanjutnya diantar anak bos ke stasiun. Sekitar jam 2 malam kami sudah di stasiun, selalu ada orang baik dalam perjalanan kami. Terima kasih bos, Cuma saya belum sempat tahu namanya karena saya duduk di belakang.

 JADI GELANDANGAN DI STASIUN PURWOKERTO


Masih dini hari di stasiun Purwokerto, dan kami belum boleh masuk stasiun. Kami mencari mushola terdekat untuk sekedar istirahat menunggu kereta kami yan datang jam setengah sembilan. Tapi tidak ada mushola, yang ada masjid yang terkunci pagarnya di sebelah Timur stasiun. Akhirnya kami berusaha istirahat di ruang tunggu, tapi tetap tidak bisa tidur, karena sebentar-sebentar speaker stasiun mengganggu dengan pengumumannya.
Cari sana sini tidak ada spot yang bagus, akhirnya kami buka matras di depan toko roti stasiun langsung tidur. Jadilah kami gelandangan semalam di Purwokerto. Tidur sebentar hingga adzan subuh membangunkan kami, kami bergegas ke masjid sekalian bersih-bersih, buat saya tidak apa-apa jadi gelandangan seperti ini asal jalannya bareng Cinta.







Print Friendly and PDF