Tim:
|
1. Hafit(Leader) |
|
3. Barkah
|
|
4. Ucup
|
|
5. Boim
|
|
6. Rohmat
|
|
7. Siswanto
|
|
8. Casper
|
|
9. Yogi
|
|
10. Linaa
|
|
11. Centhak
|
12. Suci
13. Rini
|
14. Saya
|
Berawal dari carrier yang tergantung di dinding kamar dan lagu Mahameru oleh Dewa 19, saya jadi terbayang pendakian Semeru saya yang gagal, walaupun tinggal berangkat. November 2012 seharusnya saya muncak Semeru bersama Avtech dan teman ngesot dari tongkrongan Jamboe Kupi Pasar Minggu atau Petai(Pendaki Santai). Tapi selesai packing, ada telepon, bapak saya sakit agak parah. Hampir satu dekade ini bapak bersanding dengan hipertensi dan kolesterol.
Iseng-iseng browsing pendakian Semeru untuk pekan awal Juni, karena saya memiliki waktu agak longgar saat itu. Maklum sambil Ari Lasso menyanyi, saya mendengarnya seperti penagih hutang. Semeru I’ll be there.
Klik sana sini mengundang rasa ngantuk, ternyata di Backpackerindonesia.com ada yang mengajak trip bareng, sharing cost, ke Semeru. Pemilik thread sebenarnya Zhi, tapi di take over oleh Hafit. Membaca thread itu bolak balik ternyata hari H tinggal 2 pekan lebih dikit, langsung saya follow up.
Dari perkembangan terakhir peserta terdaftar adalah 20 orang yang berasal dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makasar. Di antara mereka sudah pernah melakukan trip bersama, sedangkan yang lain adalah anonym. Itinerary sudah dipaparkan di forum, tinggal melakukan persiapan. FC KTP, Kartu Keterangan Sehat, tiket, logistik, tenda, dan tentu saja niat dan mental baja.
Keputusan saya merencanakan pendakian Semeru dengan BPI sudah positif, walaupun saya yakin kehabisan tiket Matarmaja. Benar saja tiket sudah habis, dan saya langsung membuat rencana datang lebih awal untuk ngglosor di tepi Ranu Regulo lebih dulu. Tapi rencana ini juga gagal, walaupun memang saya datang 1 hari lebih dulu, penyebabnya adalah ( ada di bagian road to Malang Baru). Sedangkan untuk pulang saya berencana jadi Bus mania, berganti-ganti bis sepanjang Pantura.
Road To Malang Baru
Berdasarkan kesepakatan, meeting point adalah stasiun Malang Baru, kecuali peserta via Surabaya. Dari seluruh peserta, tidak semuanya menggunakan Matarmaja, tapi tetap saja mereka ditunggu untuk melakukan perjalanan Malang – Tumpang, semakin banyak semakin baik untuk system sharing cost.
Kawan-kawan yang datang dengan Matarmaja adalah Hafit, Barkah, Momo, Ucup, Linaa, Boim, Rohmat, dan Siswanto. Mereka berkumpul dulu di stasiun Pasar Senen, berangkat tanggal 5 Juni 2013 jam 14.40. kereta Matarmaja adalah kereta ekonomi AC yang melayani jalur Malang – Jakarta PP dengan tiket Rp. 130.000.
Menyusul dari Bandung adalah Casper dan Yogi, mereka menggunakan jasa KA. MALABAR yang melayani Bandung – Malang PP dengan tiket normal Rp. 110.000 (bisa berubah sesuai demand).
Saya sendiri seharusnya menggunakan KA. MATARMAJA berangkat tanggal 4 Juni, akan tetapi gagal karena terlambat hanya 5 Menit. (respect untuk PT. KAI yang ON TIME). Kemalangan saya ini adalah pengalaman yang berharga mungkin Rp. 130.000 atau lebih :(.
Saya tinggal di Ciputat pinggiran Jakarta, dan saya perkirakan 2 jam lebih adalah waktu yang cukup untuk memotong Jakarta lewat jl. Sudirman di tengah hari.
Tapi lalu lintas Jakarta adalah satu hal yang tidak bisa diprediksi, setelah hati wanita :(. #curhat
Setelah ketinggalan kereta, rasa kesal saya kesal tak terukur, karena hanya lima menit saya terlambat setelah berjuang berganti taxi, lalu ojek, dan berlari dengan rucksack yang besar. Tapi ada saja teman datang menghibur, sesama pendaki menghampiri.
“Bang mau ke Mahameru ya?”, sapa kedua teman tadi dengan aksen jawatimuran. Saya pandangi kedua teman tadi dengan mimik mau curhat, “kok tau?” jawab saya sambil menghela nafas. Mereka menyampaikan,” ya pasti, kalo bawa kulkas beginian pasti mau naik. Tadi itu temannya banyak bang, terlambat 5 menit aja. “ “Naik Brantas aja bang”, saran teman tadi.
Mengikuti saran mereka saya langsung pergi ke loket, antrian sudah mengekor sampai 10 Meter, saya langsung bergabung memburu tiket KA.Brantas. Rencana saya akan berhenti di stasiun terakhir Kediri, dan meneruskan ke Malang.
Berdiri lama saya menahan emosi karena baru kehilangan seharga tiket Matarmaja dll, masih juga antri, dan ada saja yang masih menyodok antrian. Ini semacam uji mental dan ketahanan kesabaran saja, itu yang saya ambil hikmahnya. Akhirnya dapat juga tiket seharga RP. 110.000 itu. Karena malu saya sengaja tidak menghubungi siapapun :(.
Sepanjang perjalanan saya dihibur oleh kelucuan seorang nenek yang travel sendirian. Nutrisinya sepanjang jalan hanya 2 gelas kopi, tidak mau yang lain. Beliau memang ingin selalu pergi sendiri, usianya sekitar 95 tahun berasal dari sebuah desa di lereng gunung Lawu. kalau saya habis minum dari botol air mineral yang saya bawa, beliau ukur, dan terheran-heran. “wetenge gentong yo, ya ampuuun ngombe kok sak mono”, komentarnya selalu seperti itu. Kami semua yang duduk di sekitar si mbah tertawa.
Di kereta lumayan juga, saya mendapat teman yang punya hoby caving dari Serang, dia mengundang saya untuk caving di goa-goa pantai Selatan. Namanya Fadholi, sedang pulang kampung ke Madiun. Selain ngobrol dan cari teman, kegiatan saya jalan-jalan dari gerbong satu ke gerbong yang lain, dan merokok di sambungan gerbong mencuri kesempatan kalau satpam tidak ada
Di stasiun Kediri jam 8.00, langsung cari informasi pergi ke Malang bertanya pada orang-orang sekitar. Ternyata bis ke Malang dapat diraih di terminal, dan saya harus pergi ke terminal dulu. Saya pikir lebih baik naik kereta Penataran ke Malang, walaupun masih 3 jam lebih. Waktu menunggu bisa saya manfaatkan untuk mandi dan makan makanan yang layak di sekitar stasiun.
Kereta Penataran atau Dhoho tiba lebih lama 15 Menit dari jadwal, saya berandai-andai jika Matarmaja yang seperti itu mmm. … Perjalanan ke Malang di siang hari sangat menghibur, jalur yang sama yang dilewati Matarmaja, kanan kiri pemandangan indah perbukitan. Perjalanan sekitar 4 jam, karena berhenti di setiap stasiun, dan sampai di Malang Baru sekitar jam 16.15.
David alias Juli seorang supir angkot yang baik hati
Keluar stasiun saya disambut sopir-sopir angkot, satu di antaranya bertanya apakah saya mau ke Tumpang. Yang mengejutkan sopir ini yang belakangan saya tahu namanya Juli/David bertanya, apakah saya rombongannya Hafit, saya heran tahu dari mana dia saya rombongan Hafit.
Dari situ dialog di antara kami mulai cair, kami ngobrol ngalor ngidul di warung kopi sambil berteduh dari hujan. Saya bilang saya mau ke Tumpang, asal ada barengan, supaya ongkosnya lebih irit. Dia sanggup mengantar saya sendiri ke Tumpang, tapi kalau mau menunggu rombongan Backpacker lain tetap ditunggu.
Tidak terasa ngobrol sama mas David sampai larut malam, dan sepertinya tidak ada rombongan pendaki lain. Saya memang sejak tiba sudah ditawari untuk menginap di rumahnya untuk besok regroup dengan Hafit dkk. Mas David ternyata bergairah membahas paket wisata di Malang dan sekitarnya. Dia percaya saya bisa mengorganisir wisata semacam itu dengan membuatkan situs web yang bagus. Mudah-mudahan terlaksana mas, saya masih sibuk buat program administrasi assessment siswa.
Regroup di Malang Baru
Jam 8 stasiun Malang Baru berada dalam suasana parade merk apparel dan peralatan gunung, di mana para peserta dan model datang bak semut dari pintu keluar bercampur dengan sopir angkot dan tukang becak yang menawarkan jasa. Saya
chattingan dengan teman melalui
Whatsapp, dan tahu mereka sudah di stasiun, tapi saya memilih memesan kopi dan ngobrol dengan sopir-sopir angkot AMG yang gila-gila ceritanya.
|
Rombongan Pendaki yang baru keluar dari stasiun |
Rombongan Matarmaja masih menunggu rombongan Malabar dan Gajayana, sementara pak Supri yang angkotnya di
charter Hafit sudah tidak sabar, karena mungkin saja beliau bisa berkali-kali mengangkut penumpang. Saya diminta masuk ke stasiun untuk mencari Hafit dkk, agar mereka cepat-cepat naik mobil.
Saya temui teman-teman di dalam, dan kesan pertama saya adalah, mereka adalah pemudi-pemuda yang jauh lebih muda dari saya, lalu bertanya-tanya dalam hati bagaimana cara berbaur dengan orang sebaya mereka.
Setelah menyapa teman-teman di dalam, saya baru tahu ternyata rombongan yang sedianya berjumlah 20 berkurang menjadi 13 orang, satu orang dari Surabaya sudah di Tumpang.
Setelah menunggu lama sisa rombongan, maka kami putuskan untuk terus ke Tumpang. Tapi kami terlebih dahulu mencari rombongan lain ke Tumpang untuk meringankan ongkos. Kebetulan ada 5 orang rombongan dari Cirebon yang bisa diajak, sehingga ongkos charter angkot ke Tumpang bisa dibagi 18 orang untuk dua angkot.
Malang Baru – Tumpang
Angkot yang ‘berhak’ mengangkut penumpang ke Tumpang adalah angkot yang rutenya menlewati stasiun, dan mereka tidak berhak mengangkut jemput rombongan dari Tumpang, karena hanya angkot yang melewati Tumpang yang boleh menerima charteran Tumpang – Malang. Sebenarnya untuk ke Tumpang dapat dilakukan dengan berganti angkot, tapi karena pendaki membawa tas yang besar lebih baik menggunakan
charteran dengan ongkos @Rp. 10.000. Perjalanan Malang Baru – Tumpang sendiri memakan waktu sekitar 45 Menit.
Di Tumpang kami berhenti di rumah cak Rus sebagai
base camp para pendaki. Cak Rus menyediakan rumahnya untuk kami istirahat dan memanfaatkan MCK selama menunggu truk angkutan ke Ranu Pani. Kebetulan kami masih menunggu sisa tim kami yang masih berharap rombongan Gajayana tiba di Malang Baru, sementara saya melengkapi sarat untuk mengurus surat keterangan sehat di PUSKESMAS Tumpang. Antrian lumayan banyak, tapi tidak membutuhkan waktu lama untuk mengurus surat kesehatan tersebut, karena kami hanya diperiksa tensi darah. Sebagian besar memiliki tensi darah yang rendah, dan mereka beralasan kurang tidur dalam perjalanan, dan belum makan makanan yang layak.
|
Suasana di PUSKESMAS |
Biaya surat keterangan sehat di PUSKESMAS Tumpang adalah Rp. 15.000. Di sini para pendaki masih bisa melengkapi persediaan logistik mereka, apalagi Tumpang adalah sebuah pasar dan di sana juga sudah ada Minimarket.
Tumpang – Ranupani
Untuk melakukan pendakian ke Mahameru, semua pendaki dari Tumpang harus ke Ranu Pani. Ranu Pani adalah desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan dan sekaligus pos pendaftaran SIMAKSI. Perjalanan ke Ranu Pani biasanya ditempuh dengan jip atau truk. Rombongan kami menggunakan jasa truk cak Rus yang dapat memuat 25 orang. Truk yang kami akan tumpangi akan berangkat jam 12.00 paling lama, sementara Hafit masih berharap anggota lengkap 20 orang. Akhirnya kami putuskan untuk berangkat jam 12.00
Satu persatu tas besar ditata, dan kami ikut naik setelahnya seperti mengangkut sapi :). Tapi tidak apa-apa, selain aman ini adalah transportasi yang murah dan umum digunakan. Rombongan kami bercampur dengan rombongan lain, yang dilihat dari parasnya mereka adalah pendaki yang sudah paruh baya dari komunitas Bike to Work. Lumayan bisa beramah tamah, sepanjang perjalanan.
Semua sudah naik, tinggal dua gadis kaka beradik yang belakangan kami juluki “nyonya” belum terlihat. Kami semua merasakan rasa panas berada di bak truk yang tidak berjalan, udara Tumpang yang sejuk tidak terasa pada waktu itu. Akhirnya Nyonya-nyonya datang tanpa kata sorry, dan perjalanan bisa dimulai.
Perjalanan Tumpang – Ranupani dengan truk memang tidak nyaman, tetapi pemandangan sekitar bisa menghibur kami. Petani kentang, bawang, jagung, dll membuat desain yang unik pada tanah mereka yang berkontur perbukitan yang kalau dilihat dari jauh seperti kain batik yang unik. Semakin tinggi pemandangan semakin indah, dan setelah melewati tanjakan persimpangan ke arah gn. Bromo kami bisa melihat padang rumput teletubbies dari atas. Dalam perjalanan kami digoyang ke kanan kiri dan tidak jarang kepala kami hampir menyambar dahan dan ranting yang menjuntai ke jalan. Berkali-kali pula nama komunitas kami “AWASPALA” diucapkan.
Setelah kira-kira 2 jam kami tiba di Ranupani, kami disambut hujan rintik-rintik dan pemandangan Ranu Regulo yang indah. Semua menyiapkan mantel, dan harus packing ulang, terutama backpack milik “Nyonya” yang kelihatannya terlalu besar dan tidak padat.
Di saat menunggu leader kami Hafit mendaftarkan SIMAKSI, beberapa teman melihat ada rombongan porter dari atas membawa tandu ke ambulan. Ternyata orang dalam tandu tersebut adalah pendaki asal Gresik yang mengalami gagal jantung, yang kami ketahui ketika sudah mengakhiri pendakian. Informasi ini dipastikan ketika kami berbincang dan beristirahat di kantor SAR.
Ranupani – Ranu Kumbolo
Setelah proses administrasi selesai, sekitar jam 15.00,
kami mulai pendakian dengan membagi kelompok yang tinggal 14 menjadi dua. Kelompok pertama: Hafit, Yogi, Casper, Linaa, Boim, Rahmat, dan Siswanto. Kelompok kedua: Barkah, Ucup, Momo, Centhak, kedua Nyonya ,dan saya.
Jalur pendakian yang kami lalui adalah jalur normal dan ditandai dengan jalan yang sudah di paving blok sekitar 60Cm. Sebagian jalur tertutup dahan dan ranting pohon, sehingga tapak kaki harus melalui jalan berlumpur karena hujan. Lumpur yang kami lalui lumayan licin, apalagi sudah terinjak ratusan orang dari kemarin.
Dingin hujan tidak terasa karena hangat badan kami yang mengeluarkan kalori karena perjalanan yang berat dan beban yang berat. Walaupun jalur normal ini landai, tapi rucksack kami masih penuh dengan segala macam bawaan, terutama air yang minimal 4,5L. Rombongan kami berjalan dengan santai dibarengi sendagurau, tapi diganggu ketidaknyamanan akibat keluhan 2 nyonya. Saya pikir mereka memang traveler, tapi bukan untuk kontur perbukitan dan tanjakan. Beban mereka sudah ditukar dengan Centhak, sedangkan extra backpack dibawa Ucup. Pemuda baik hati Ucup akhirnya juga menyerah karena kakinya cedera membawa beban tambahan dari sang nyonya.
Akhirnya lepas Maghrib kami tiba di pos 4, pos terakhir. Kami sudah bisa mendengar riuh suara para pendaki yang berkemah di sisi Utara Ranu Kumbolo, tempat kami juga terpaksa mendirikan tenda, karena sisi Selatan sudah penuh oleh tenda. Pada turunan ke Ranu Kumbolo saya sempat split karena terpeleset, otot atas paha kiri saya tertarik syukur bisa langsung sembuh.
Ranu Kumbolo
Ranu kumbolo pada malam itu sangat dingin, saya bergegas berganti pakaian kering, lalu mendirikan tenda. Segelas kopi dan dua batang rokok tidak bisa mengusir dingin, dua saset mie instan yang baru saya seduh dan masih mengebul saya dan Yogi lahap tanpa terasa panas.
Yogi adalah
Tentmate saya, setelah makan dia langsung tidur. Saya masih membereskan alat masak dan menyempatkan bercanda dengan Hafit, Barkah, dan Boim yang masih terjaga. Tidak terasa sudah jam 1 tanggal 7 Juni, saya pergi tidur. Tenda yang saya pasang tidak begitu sempurna, lapisan luar dan dalam menempel sehingga embun meresap ke dalam terutama pada pintu, pantas saja kaki saya terasa basah dan dingin hingga susah tidur nyenyak. Tapi Yogi punya
sleeping bag yang
waterproof dan dilengkapi polar, iri benar rasanya saya.
Selamat Pagi Ranu Kumbolo
Sekitar jam 5 lewat kami sudah bikin berisik lingkungan kemah, tapi Yogi masih asik dengan SB nya. Saya bergegas mencuci sepatu dan peralatan lain yang kotor kemarin, dan bangunkan Yogi untuk masak air. Sementara Hafit, Barkah, Ucup, dll sudah mencari spot yang tepat untuk narsis dan BAB.
Masak terlalu lama, padahal perut sudah menagih, akhirnya roti tawar jadi pelampiasan. Lumayan, sambil menunggu spagheti dan nasi matang. Kebersamaan adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli, di situ kami menikmati makanan apa adanya dengan senang hati.
Selesai makan dan packing rencananya kami berangkat ke Kalimati jam 9.00, tapi saya, Hafit, Yogi, Boim, dan Siswanto berangkat belakangan, maklum bongkar tenda dulu.
Ranu Kumbolo – Kalimati
Kami berlima selesai packing jam 10 lewat, dan seperti biasa sebelum berangkat narsis dulu cari korban fotografer maksa. Berjalan ke Selatan di sisi Barat Ranu Kumbolo membuang lelah nafas tersengal kurang tidur dengan memandang Ranu Kumbolo.
Indahnya danau ini pantas sebagai ganti upaya kami menuju ke sini. Danau ini selalu menjadi tempat pemberhentian pendaki sebelum ke Kalimati, selain itu di sini juga banyak ikan, sayang kami tidak bawa joran pancing.
Di sisi Selatan tempat pos Ranu Kumbolo berdiri, kami istirahat sejenak sebelum memulai “Tanjakan Cinta”. Seperti biasanya kami foto-foto dulu di sini. Katanya jika pendaki berjalan bersama kekasihnya dan melalui tanjakan cinta ini tanpa menoleh ke belakang, ikatan kasih mereka akan langgeng. Sepintas saya lihat tanjakan cinta tidak begitu ekstrem, masih kalah dibandingkan tanjakan cinta setelah jembatan Tembayang di Baduy.
Tanjakan cinta selesai kami lewati, di seberang sana terlihat hamparan biru lavender di Oro-oro Ombo. Bergegas saya turun dan menikmati pemandangan yang biasanya ditemui di tanah Eropa, hamparan rumput sabana bersaing dengan lavender yang berkembang di bulan Juni ini.
Selanjutnya kami berjalan datar membelah Oro-oro Ombo menuju Cemoro Kandang, sebagian lebih memilih berjalan di sisi Oro-oro Ombo, jadi mereka tidak perlu turun ke sini.
Setelah berhenti beristirahat di Cemoro Kandang kami melanjutkan perjalanan menanjak ke Jembangan, sebuah tempat yang ditumbuhi pohon perdu lumayan lebat.
Di sana saya temui si Ragil Centhak yang termangu di tikungan menunggu. Saya hampiri dia yang sedang menunggu, ternyata dia menunggu dua nyonya, akhirnya saya juga putuskan menunggu dua nyonya yang sepanjang perjalanan selepas Cemoro Kandang memang bersama saya. Namun mereka tertinggal agak jauh karena banyak beristirahat. Sebenarnya saya ingin segera ke Kalimati, karena saya membawa tenda untuk didirikan segera, tapi saya lebih memilih menemani Centhak dan juga kasihan dengan dua nyonya.
Dalam menunggu mereka hujan turun makin deras, saya yang terlanjur basah malas buka Carrier ambil mantel dan lebih memilih berteduh di bawah pohon. Sementara Centhak sudah mengenakan mantel biru kesayangannya. Empatpuluh Menit dan tiga batang rokok sudah habis, mereka baru tiba. Saya bilang gak enak ninggal dan kasihan sama mereka yang di belakang, takutnya kenapa-kenapa. Tapi mereka datang tanpa sorry berkata, “gue abis foto-foto, lama ya nunggu?”. Emmmmmm saya udah 40 Menit, Centhak tambah 20 Menit lagi brrrrr dingin sedingin kosa kata yang dimiliki sang nyonya.
Kalimati
Mendapat jawaban yang dingin, saya juga langsung merasa sangat dingin dan kaku, karena itu saya langsung kebut ke Kalimati, saya juga harus bergegas mendirikan tenda.
Di lokasi tenda sudah berdiri 3 tenda, dan sebuah flysheet yang lumayan membantu untuk bongkar tenda saya. Teman-teman di sana langsung membantu mendirikan tenda, dan saya tidak peduli lagi dengan 2 nyonya.
Secangkir jahe hangat buatan Rohmat lumayan mengobati kekecewaan saya. Dengan cepat tenda berdiri, setelah regroup kami mengisi ulang energi kami dengan nasi goreng ada yang matang ada yang ngletis hasil masakan di Ranu Kumbolo. Tapi karena lapar, ya tetap saja di makan. Makanan ini penting sekali karena kami harus muncak jam 9 malam, sedangkan waktu itu sekitar jam 5 sore.
Tempat tenda kami berdiri memang tidak dekat pos Kalimati, karena di sana sudah penuh oleh tenda pendaki lain. Tapi dari sini jalan menuju Sumber mani, di mana pendaki mendapat air, lebih dekat.
Summit Attack
Jam 8.45 alarm berbunyi, kami bangun dari tidur dan bersiap-siap melakukan Summit Attack. Semua kelengkapan diperiksa, headlamp, makanan, minuman dan pakaian layak untuk cuaca dingin. Kami sengaja memilih jam 9 malam sebagai awal pendakian menghindari antrian ratusan pendaki untuk tiba di puncak sebelum sun rise. Tim kami adalah tim pertama yang melakukan summit attack malam itu, dan Yogi adalah orang pertama yang sampai puncak pada tanggal 8 Juni 2013. Setelah briefing sebentar, kami berdoa memulai perjalanan.
Pertama kami menuju pos Kalimati ke arah belakang pos memiliki jalur yang menurun, seteleah itu jalur terus menanjak. Perjalanan ke Arcopodo terus menanjak seperti jalur ke gn. Gede lewat Gunung Putri. Seringkali kami harus berpegang pada akar. Syukur cuaca pada malam itu cerah ditandai bintang dan habis hujan, sehingga jalur ke Arcopodo lebih padat.
Menjelang Arcopodo tiga teman kami mengalami kelelahan Centhak, Ucup, dan Siswanto. Terpaksa kami meninggalkan mereka di sana. Mudah-mudahan mereka bisa muncak Mahameru di kesempatan lainnya.
Selepas Arcopodo perjalanan dilanjutkan ke Kelik, yaitu batas vegetasi di jalur pendakian Semeru. Setelah Kelik, jalur pendakian terdiri dari pasir yang untung saja lebih padat karena hujan pada sore hari. Sepanjang jalur pendakian adalah pasir halus dan semakin tinggi bijih pasir semakin besar, tapi tidak lebih besar dari 5mm.
Seperti biasa perjalanan vertikal seperti ini membuat saya tertinggal jauh dari teman-teman. Sebenarnya ini adalah trik saya untuk menghemat tenaga dan menjaga kestabilan nafas saya.
Rombongan terakhir dari tim kami adalah Momo, Linaa, dan saya. Nafas saya selalu tersengal-sengal, dan otot betis saya mulai tidak ramah, tapi tidak ada yang mengalahkan semangat saya.
Pada suatu tempat istirahat saya bertemu porter yang juga sedang istirahat di sana, saya berbincang-bincang sebentar. “gak usah buru-buru mas, sampai di puncak juga lebih dingin dari pada di sini”, kata mereka. Saya pikir benar juga ya, di sini sudah sangat dingin, yang penting saya tidak ketinggalan sun rise. Maka saya tidak terlalu terburu-buru untuk sampai puncak, sun rise masih jam setengah enam. Selepas dari situ saya berjalan hanya mendampingi Linaa yang selalu saya panggil Cinta. Aku akan menjagamu cinta, kalau perlu aku gendong/dorong kamu sampai puncak.
Perjalanan melawan ego dan menaklukan ketidaksabaran berakhir di jalur yang berbatu-batu sekepalan tangan, di sana para pendaki berkumpul, ternyata sudah sampai puncak, saya pikir belum sampai puncak, saya masih kuat berlari, tapi laperrr dan dinginnnnn.
Narsisssss dollooooo
Puncak Mahameru – Kalimati
Ini dia jalur perjalanan yang paling saya tunggu-tunggu, ngesot ski pasir. Setelah puas narsis dan menunggu kawah beberapa kali kentut, jam 7.00 mulailah ski pasir.
Kalau mendaki memang saya lambat, tapi kalau turun saya pasti berlari, mungkin gravitasi sangat merindukan saya. Dengan atau tanpa beban, ketika turun saya tidak mengalami gangguan lutut nyeri seperti orang kebanyakan.
Sesuai kesepakatan saya berhenti di Kelik untuk menunggu semua tim regroup. Karena berdasarkan pengalaman para pendaki lain, sering kali pendaki tersesat dalam perjalanan turun setelah Cemoro Tunggal.
Sambil menunggu teman lain saya membersihkan sepatu yang banyak dimasuki pasir, walaupun saya sudah menggunakan gaiter. Sepatu yang saya gunakan tipe low, oleh karena itu pasir tetap masuk, walaupun saya menggunakan gaiter.
Perut yang keroncongan memandu tanganku meremas mie instan yang sudah saya bawa di tas, lumayan lah untuk mengisi perut, sebelumnya roti gepeng dari Rohmat sudah jadi appetizer.
Sampai di tenda kami bersiap-siap sambil menyantap masakan Boim, nasi goreng ngletis, dengan taburan teri kacang. Selain itu saya masih ingin menambah perbekalan air sebelum tidur, waktu itu jam 12 an dan kami sepakat memulai perjalanan kembali jam 14.00.
Air dapat diambil di Sumbermani yang letaknya lumayan jauh 40 Menit bolak balik. Pancuran di Sumbermani ada dua, pancuran yang di atas dan di bawah. Pancuran yang di bawah lebih deras dan lebih segar airnya. Air dari Sumbermani dapat langsung diminum, bahkan kalau tidak suka berjalan ke Sumbermani, para Porter sudah berbaik hati mengambilkan air dengan @Rp.10.000 sebagai gantinya.
Kalimati – Ranu Kumbolo
Perjalanan ini hanyalah perjalanan pulang mengulang jalur berangkat, hanya saja kami lebih suka melewati sisi Oro-oro Ombo dari pada menyeberanginya, maklum kami sudah alergi tanjakan, karena kalau harus membelah Oro-oro Ombo ada tanjakan ke arah Ranu Kumbolo. Sampai di Ranu Kumbolo jam 16.00 sudah sesuai jadwal, seperti rencana kami istirahat sebentar, regroup untuk melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani.
Tapi kami sedikit tertahan menunggu nyonya untuk bergabung.
Ranu Kumbolo – Ranupani (Jalur Ayeg ayeg)
Sesuai kesepakatan, kami akan melewati jalur Ayeg ayeg untuk mempersingkat waktu tempuh, tapi jalur sangat menanjak dan menurun sangat ekstrem. Melewati Maghrib kami masih di lereng Ayeg ayeg, sementara hujan turun makin deras membuat jalur semakin licin. Saya sangat terganggu dengan keluhan dua nyonya sepanjang perjalanan yang ekstrem ini, selain itu saya harus melaluinya dengan headlamp yang tidak stabil, saya tidak bisa mengganti batre karena headlamp saya rechargeable.
Perjalanan terus menanjak tanpa bonus, semakin ke atas semakin mengerikan karena jalur yang licin. Jam 8 malam kami belum sampai puncak Ayeg ayeg. Sesekali kami harus saling berpegangan tangan karena jalur yang berbahaya. Dalam perjalanan pulang ini kami beriringan dengan 5 pendaki dari Sidoarjo. Mereka tidak tahu jalur Ayeg ayeg sehingga mereka ikut saja bergabung dengan kami.
Sekitar 50 Meter dari puncak Ayeg ayeg, saya terpeleset, dan terus tertarik ke bawah. Untung saja Yogi cekatan menaruh kakinya mengganjal kaki saya. Saya langsung merangkak, tapi tetap merosot, sampai akhirnya saya tiarap memanfaatkan berat rucksack saya supaya tidak terus terperosok. Saya sudah berpikir akan melepas ransel saya, jika saya terus terperosok. Saya berteriak minta webbing, karena saya tahu Barkah membawa webbing, tapi mungkin dia sudah jauh di atas sehingga tidak mendengar.
Salah seorang rekan pendaki dari Sidoarjo di depan saya yang sudah berhasil melewati tanjakan licin itu melepas mantelnya yang berbentuk lembaran menolong menraik trekking pole yang saya bawa, lalu Linaa, dan saya menunggu di atas mengulurkan mantel tadi yang saya gulung-gulung menarik Linaa dan Yogi. sementara Centhak dan Momo menggunakan jalur agak di atas tidak melewati jalur licin yang saya lewati. Saya memang tidak menggunakan sepatu yang masih tersimpan di tas, dan ternyata grip sol sendal gunung saya sudah penuh tanah liat.
Setelah semua berhasil, Momo berjalan di depan saya, ternyata di depan ada Hafit menunggu memandu jalan yang semakin licin dan berbahaya. Beberapa Meter melewati Hafit, Hafit berteriak minta tolong satu orang untuk membawakan Carrier. Momo balik langkah menuju Hafit, sedangkan saya meneruskan perjalanan ke puncak dengan headlamp yang remang-remang.
Akhirnya saya sampai puncak Ayeg ayeg bersama teman lain minus Hafit, Momo, Centhak dan seorang rekan pendaki dari Sidoarjo.
Lama menunggu di atas berharap untuk bersama-sama turun ke Ranupani, ternyata malah berita tidak enak yang sampai. Seorang porter naik ke atas menghampiri kami mengatakan ada seorang pendaki dari Sidoarjo mengalami Hypothermia. Itu berarti rekan yang menolong saya, waktu saya tingalkan bersama Centhak dia sedang melipat ponconya. Ketiga teman saya ternyata tertahan menolong pendaki itu. Mas Argo nama pendaki itu.
Di puncak yang dingin karena terpaan angin dan pakaian basah yang kami kenakan semakin tidak nyaman dengan berita tersebut. Boim langsung bongkar kompor dan memasak air yang ada. Semua sisa makanan dikumpulkan untuk dimakan, dan sempat terpikirkan untuk buka tenda di alas yang miring itu. Sementara rekan dari Sidoarjo yang lain sibuk mempersiapkan baju hangat dan oksigen untuk menjemput temannya dan saya masih sibuk sendiri mengatasi rasa dingin dan kaku pada tangan saya.
Satu jam lebih kami di sana, dan belum ada berita begitu juga Barkah yang turun belum kembali lagi, persediaan air tidak ada lagi, kami pun membuat shelter dari flysheet untuk menahan angin dingin yang sekarang menerpa dari Utara, mungkin angin ini berputar putar karena memang sekeliling kami adalah perbukitan. Tangan saya sulit sekali untuk terampil mengikat tali, terasa sangat kaku, shelter pun siap ala kadarnya. Lumayan Yogi, Ucup, Casper, dan Linaa bisa berlindung.
Berita melegakan datang dari rekan pendaki senior yang berjalan bersama porter tadi yang mengatakan, penderita Hypothermia sudah membaik dan sedang di papah ke atas. Rombongan penyelamat akhirnya tiba, saya tidak bisa menolong apa-apa sudah ada Centhak dan Momo di sana. Saya hanya membantu mendirikan tenda milik pendaki dari Sidoarjo tersebut. Pertolongan pertama, air panas dan sundutan kompor sudah diberikan, tapi penderita hypo belum stabil. Tenda belum siap, dan penderita hypo beberapakali tidak sadarkan diri membuat kami panik.
Akhirnya diputuskan agar sebagian dari kami turun ke Ranupani lebih dulu. Ucup, Barkah, Yogi, Boim, Linna, Casper, dan saya. Rohmat, Siswanto dan kedua nyonya sudah berangkat jauh lebih lama ketika kami belum tahu ada yang Hypo. Kami bertujuh tidak ada yang tahu pasti jalur ke Ranupani, tapi kami mendapat informasi bahwa jaraknya hanya 30 Menit bagi porter, dan kami berhitung mungkin satu jam buat kami. Kami berjalan beriringan tanpa mau berpisah jauh lagi, tugas kami adalah memanggil petugas SAR menolong pendaki hypo tadi.
Berurutan Ucup, Yogi, Casper, Linaa, Boim, saya, dan Barkah tidak berubah sampai ujung perjalanan. Perjalanan agak tersendat karena saya harus dibantu dalam penerangan yang bermasalah dengan headlamp saya. Ucup, Boim, dan Barkah merasa ada hal-hal aneh selama perjalanan, sedangkan hal teraneh bagi saya adalah waktu tempuh yang mendekati 2 jam, yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati apakah kami sudah di jalur yang benar.
Akhirnya tanda-tanda kami selamat nampak juga, kami sampai di perkebunan penduduk sekitar jam setengah duabelas malam. Tidak ada satupun penduduk yang masih terjaga untuk kami tanyai, hanya anjing yang menggonggong silih berganti. Sepertinya semua orang Ranupani punya anjing di rumahnya.
Tiba di persimpangan jalan terpaksa kami mengetuk rumah pnduduk. Lina dengan ramahnya kulonuwun di rumah seorang yang mungkin sudah lelap dengan nyaman di ambennya. Sang tuan rumah dengan baik hati menunjukkan jalan ke arah pos Ranupani. Seraya berterimakasih telah mengganggu, kami pergi mengikuti petunjuk sang Bapak yang baik hati tadi. 100 meter berjalan kami sampai di jalan besar, tapi tetap ada keraguan, tidak ada tanda-tanda pos pendaki.
Beruntungnya kami, sebuah truk berjalan menuju pertigaan tempat kami berdiri bingung. Kami stop mereka untuk sekedar bertanya, ke mana arah pos Ranupani. Truk berhenti, sang supir merespon terheran-heran, ”jadi sampeyan turun lewat Ayeg? Ayo naik pos masih jauh. ”
Saya juga heran, sejauh apa sih kok kami ditawari naik truk segala. Pak supir yang baik hati, kelak kami berterimakasih sekali, karena memang pos masih jauuuuuh, ditambah bawaan kami, dan kami yang lapar dan lemas ooh. Lebih 10 Menit kami di dalam truk, saya bayangkan kalau kami harus berjalan ke sini. Mmmh
Di pos ternyata masih ramai, beberapa porter berbincang-bincang, ternyata yang mereka bincangkan adalah rekan dari Sidoarjo yang hypo. Ternyata porter tadi sudah menginformasikan terlebih dahulu. Setelah berterimakasih pada supir dan kenek truk, kami teruskan misi ke kantor SAR. Kami informasikan ada pendaki yang hypo, dan juga mereka kehabisan logistik juga air. Sang petugas berterimakasih atas info tersebut, tapi tidak bisa berbuat banyak kecuali mencari porter yang bersedia naik ke Ayeg ayeg dalam kondisi yang seperti sudah saya utarakan di atas.
Satu jam lebih menunggu dan sepiring rawon telah habis kami lahap, ternyata belum ada porter yang bersedia naik. Sambil menunggu kami memperbincangkan tim SAR yang kerepotan, apalagi ada kejadian gagal jantung yang menimpa pendaki dari Gresik pada saat kami sampai di Ranupani 2 hari yang lalu.
Sambil menunggu porter kami juga memesan 8 bungkus nasi untuk di bawa ke atas. Si ibu warung dengan mata sembab bangun tidur agak lama membuat telor ceplok. Baru selesai nasi terakhir dibungkus, datang rombongan pendaki lain yang baru turun.
Menyusul three Musketeer Hafit, Momo, dan Centhak. Kami terkejut, tapi juga senang karena kami regroup lagi. Three Musketeer ini membawa berita melegakan, bahwa penderita hypo telah membaik dan sekarang masih “ngecamp” di puncak Ayeg ayeg. Semua lega kami pun boleh melewatkan malam dengan tenang di Ranupani. Nasi yang sedianya untuk dibawa ke atas menjadi santapan Three Musketeer.
Perjalanan melewati jalur Ayeg ayeg memang tidak disarankan, ditambah lagi perjalanan dilakukan pada malam hari dan hujan. Bagi yang pernah melewati jalur ini mungkin merasa saya “lebay”, tapi tetap saya sarankan jika melewati jalur Ayeg ayeg agar memastikan logistik, tali, dan air tersedia cukup. Lewati jalur ini pada saat masih terang, jangan malam hari.
Kami boleh bermalam di pos SAR di tepi Ranu Regulo, sebuah pos yang tidak terurus(menurut saya) tapi lumayan untuk melindungi kami dari angin dan hujan. Sesampai di sana sudah ada tim lain, kira-kira lima orang, yang sudah terlelap di dalam kamar. Sayang sekali kami harus tidur di bagian luar, tapi kami tetap bersyukur karena kami semua 14 orang selamat sampai Ranupani. Di pos ternyata Rohmat dan Siswanto juga sudah bergabung dengan kami, jadi kami semua ada selusin minus dua nyonya yang saya dengar juga lebih dulu berangkat ke Tumpang. Kamilah selusin pendaki pencetus AWASPALA yang tinggal dan berencana melahap rawon keesokan harinya.
Rawon, Kari Ayam, dan Bakwan di Ranupani
Jam lima lebih saya terbangun, segera beres-beres packing ganti baju yang bersih cuci muka dengan tisu basah, maklum di kamar mandi tidak ada airnya, bersyukur tidur beberapa jam lalu lumayan mengurangi kaku otot walaupun masih terasa tidur dalam dingin.
Setelah semua personal packing, mulailah kami mencari sang Rawon. Sepagi itu warung sudah penuh, tapi kami tetap memesan rawon di situ. Sepiring Kari ayam tuntas, saya minta sepiring Rawon, mantappp sambalnya sungguh menghilangkan kantuk.
Sambil menunggu truk angkutan siap, kami berjalan mencari souvenir, narsis, bahkan masih mengerubungi penjual bakwan malang, lucu bihunnya biru. Ternyata makanan tadi belum memuaskan rasa lapar kami.
|
Ranu Regulo |
|
Narsis di Ranu Pani |
Ranu Pani – Tumpang
Ranu pani pun kami tinggalkan, kembali rintik hujan mengiringi keberangkatan kami ke Tumpang. Kali ini truk tidak boleh diisi melebihi 15 orang, mungkin itu deal dari pengelola jip dan truk. Perjalanan turun selalu lebih cepat, dan kami yang kelelahan duduk tertidur di bak truk yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sebagian tetap berdiri, ada juga yang tertidur berdiri (bisa ya?).
Sampai di rumah cak Rus, saya langsung ke WC melakukan hal yang kurindukan selama 4 hari ini, mandiii. Antrian di WC cak Rus tidak putus-putus, sementara di ruang tamu sudah ada teh manis dan sesisir pisang Ambon menyambut kami. Baiknya cak Rus, pasti sebagian besar pendaki Semeru tidak lupa dengan cak Rus.
Hujan tidak berhenti, bahkan selama istirahat kami di rumah cak Rus sampai kami tiba di stasiun Malang Baru hujan tidak berhenti. Saya ikut rombongan rekan pendaki yang naik kereta sambil berharap banyak tiket yang di cancel, ternyata tetap 0 seat. Sebenarnya banyak pendaki yang terlambat sampai di stasiun pada tanggal 9 itu, mungkin tiket itu dibiarkan hangus tidak di cancel ketika mereka datang di Malang Kota Baru.
Aku pun langsung pergi ke Arjosari dengan angkot AMG. Di sana saya juga kehabisan tiket ke Jakarta atau Bandung. Saya memutuskan untuk ke Surabaya naik bis patas seharga Rp. 23.000, saya pikir di Surabaya lebih banyak kemungkinan angkutan ke Jakarta.
Sampai di Surabaya jam setengah delapan malam, turun dari bis saya langsung disambut calo yang “ramah”. Tapi saya tidak membiarkan mereka membawa carrier saya. Calo-calo ini mengenakan seragam sesuai Bis yang mereka promosikan. Saya berkeras akan ke loket, si calo tetap menampingi dan membujuk saya. Sampai di loket ternyata juga sepi, saya lihat tidak ada aktivitas antrian beli tiket. Saya jadi kehilangan daya tawar.
Akhirnya saya menyerah mengikuti si calo, dia membujuk saya melihat Bis, kemudian mengajak saya naik bis. Trik seperti ini seperti sudah saya kenal secara intuitif, walaupun saya belum pernah mengalami. Saya menolak masuk ke bis, saya katakan ya bisnya bagus, saya tetap mau ke loket kata saya.
Si calo terus membujuk,” bisnya bagus kan ya mas, jadi ke Jakarta to? Ayo ini tiketnya saya tulis nama sampeyan ya”, katanya.
Saya tidak langsung menurut, saya tanya lagi tentang harganya.” Harganya sesuai standar mas, 240.”
Saya katakan itu kemahalan,”mahal mas, saya kan mahasiswa, uang cekak nih.”
“Ya wis ditawar, mase tawar berapa?” paksanya. “200”, kata saya.
“Ya kalo segitu belum bisa mas”, jawab si calo.
Tawar menawar berakhir dengan harga 220.000. Saya terus meminta kepastian, rute, nomor kursi, nama penjual tiketnya, dan saya tidak mau bayar jauh dari bis. Kebetulan uang di dompet tinggal 200.000, kalau di carrier sih ada lebih banyak, tapi saya pura-pura uang saya tinggal segitunya. Saya tetap mau meloloskan diri dari si calo, sambil tanya apakah ada atm BCA.
Si calo bilang, “ada mas, ayo tak terke”. Waduhh gak bisa kabur deh. Sampai ke ATM juga masih diikuti, saya ambil aja seratus ribu, sengaja saya tunjukkan ke mereka sebelum dimasukkan ke dompet.
Mereka kebelet minta dibayar, saya bilang “gak di sini, anter saya ke bis, saya bayar di atas bis.” Selanjutnya saya diiringi dua calo jalan ke bis, saya minta kepastian di mana tempat duduk saya, lalu saya bayar di situ. Nama bis nya Sari Indah, tidak saya rekomendasikan walaupun tempat duduk dua dua dan murah. Tidak saya rekomendasikan karena:
Calo yang menjual karcis seperti perampok, mereka melakukan pemaksaan modusnya sebagai berikut:
- Calon penumpang disambut dengan senyum ramah dan ditawari jasa membawakan tas mereka.
- Mereka mengenakan seragam perusahaan bis, sedangkan supir dan kenek nya malah tidak berseragam, membuat penumpang bingung untuk komplain.
- Bis arah Jakarta ini, berisi penumpang-penumpang polos dan malang yang dipaksa masuk, walaupun tidak melalui daerah tempat tujuannya.
- Bis diparkir di tempat yang menyendiri, agak ke belakang dari pada antrian bis yang lain.
- Penumpang di ajak ke tempat duduk belakang, pintu belakang dikunci, mereka dipojokkan oleh 5 sampai 6 calo sekaligus.
- Karcis ditulis semau calo, lalu ketika penumpang menolak, mereka bilang: “karcis sudah terlanjur ditulis, siapa yang menanggung?” Mereka pun melakukan pemerasan agar penumpang membayar karcis tersebut.
- Mereka memaki, mengintimidasi dalam spengetahuan awak bis yang tidak menggunakan seragam. Saya baru tahu kalo supirnya ada di sekitar situ, hanya saja mereka mengenakan kemeja biasa.
Untungnya saya tidak diintimidasi, padahal saya sudah deg degan. Anehnya orang bolak balik mengintimidasi penumpang, tapi tidak ada yang menyuruh menaruh carrier saya di bagasi. Dari situ saya yakin, tidak ada satupun dari mereka yang berseragam adalah awak bis ini. Dalam hati, jika ada yang menyuruh menaruh carrier saya di bagasi, itu harus awak bis, dan saya mau komplain.
Ketidakpastian menghinggapi semua penumpang, jam 9 bis belum juga berangkat, tidak ada awak bis hadir di situ. Ternyata bis berangkat jam 10, di situ saya baru tahu mana yang awak bis mana yang bukan.
Sesaat keluar dari terminal bis berhenti sebentar, seorang laki-laki naik sambil bertanya ke seluruh penumpang, apakah ada komplain. Ternyata ini supir kedua, dan lagi-lagi tanpa seragam. Saya yakin sekali, bahwa calo dan awak bis ini sudah ada prsekongkolan. Kalau memang niat menerima komplain, seharusnya sejak bis ini selama berjam-jam parkir di terminal.
Bis ini juga masih menaikkan penumpang di jalan, hal ini sangat membuka kesempatan untuk kejahatan pencurian dan perampokan di bis. Sampai di jl. Raya Tuban kami istirahat makan, makanan yang dijanjikan calo untuk bebas dipilih ternyata hanya membuat malu saja, menu yang didapat dari karcis itu hanyalah nasi telor bulat dan sayur daun singkong, padahal saya sudah bertanya dan menunjuk lauk ini itu. Hhhh
Sebenarnya bis berjalan cukup nyaman, dan saya bisa tidur lumayan lama, karena kursi agak lega, dan sampai pekalongan saya masih duduk ditemani carrier di sebelah saya.
Tengah hari di Indramayu sampai Cikampek macet, saya sudah membayangkan kalau sampai Jakarta sore hari, maka saya bisa sampai larut malam di rumah. Selain itu tulisan Lebak bulus di karcis saya hanyalah akal-akalan calo, karena bis menuju Pulogadung… nasib.
Sampai di Pulogadung menjelang lepas Maghrib, saya repacking agar daypack saya masuk ke carrier. Sambil menunggu bis Kowanbisata 512 jurusan Ciputat dari kejauhan saya pesan segelas kopi, dan biasa… ngobrol. Satu jam saya tunggu, kok tidak ada tanda-tanda bis bergerak, akhirnya saya datangi juga itu bis. Ternyata semua pintu terkunci, saya menanyakan ke awak bis yang sedang kongkow di warung kopi dekat bis itu, ternyata bis istirahat tidak menarik penumpang ke Ciputat. Haddehhh
Bergegas saya lari mengejar Mayasari jurusan Pasar Rebo yang lewat tol, berencana naik Kowanbisata 509/510 di sana. Cepat juga sampai di Pasar Rebo, hanya 40 Menit di lalu lintas Jakarta yang super macet itu. Sampai di pasar Rebo pun saya beruntung, karena tidak lama ada bis 509 yang berlari seperti setan di jalan tol dan TB Simatupang. Jam setengah sembilan saya sampai di Lebak Bulus, di sana sudah menunggu angkot 08 jurusan Bintaro yang tinggal menunggu satu penumpang lagi, yaitu saya :).
Akhirnya saya sampai di Pondok Ranji, di sekolah tempat saya menitipkan motor dan kunci rumah, kebetulan besoknya ada acara Isro Miroj, jadi banyak teman yang jadi panitia yang begadang. Lumayan beberapa potong martabak telor hangat menyambutku, dan berbagai pertanyaan mengenai pengalaman saya di Semeru.
Saya katakan ke teman-teman dan juga beberapa siswa panitia, “
perjalanan ke dan dari Semeru adalah sebuah pngalaman yang berharga”.